Cara Website Pemula

Custom Search

Psikologi Agama

Oleh Agus Asrul Sani

Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak na perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain. Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi keyakinan.

Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan. Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).

Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama
tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).

Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.

Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin
Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi'ah tidak tercover oleh sikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.

Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku, tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada dalam al Qur'an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberagamaan seorang muslim.

Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan
gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.

Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat rational, ada yang tradisional, ada yang "fundamentalis" dan ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh, sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.











Cerita Pengalaman Seseorang :
"Kisah" yang diceritakan oleh Mas Pristiwa tentang "adik"-nya ini menarik untuk dibahas dari segi psikologi agama (psychology of religion) . (Cak Nur yang psikolog, silakan membuka CDROM EB-nya, dan mohon ditayangkan apa yang tertulis tentang 'psychology of religion'.)
Kalau kita ikuti "kisah" Mas Pristiwa secara verbatim, maka singkatnya adalah: "Adik" Mas Pristiwa berguru kepada seorang guru kebatinan. Dikisahkan, "guru itu mengajarkan 'ilmu putih', dapat diikuti oleh penganut agama apa pun asalkan percaya pada Tuhan; tidak ada jimat-jimat, syarat-syarat yang aneh-aneh [seperti mandi kembang, puasa dsb/hh], atau 'isi-isian'."
"Yang diberikan oleh guru adalah doa-doa dan keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Guru tersebut mengatakan apapun yang kita butuhkan (termasuk kesaktian, keselamatan, dll.), mintalah terus-menerus pada Tuhan dengan penuh iman dan keyakinan yang tinggi, Tuhan pasti akan memberikannya."
Ada indikasi bahwa guru kebatinan itu berasal dari tradisi tasawuf Islam.Doa-doa harus didahului dengan: "Dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung kepada Allah dari segala gangguan Setan yang terkutuk...." Guru itu juga mengajarkan "Allah hanyalah satu dan tidak beranak atau diperanakkan, juga Allah sesungguhnya bukan di tempat lain melainkan ada di dalam diri kita sendiri. ..."
Singkat kata, "adik" Mas Pristiwa mengikuti guru ini dan memperoleh berbagai kelebihan paranormal. Di samping itu dia terdidik dalam pandangan keagamaan yang sangat pluralistik, toleran dan bersifat sangat inklusif terhadap semua agama. ... Inilah taraf kerohanian yang dicapai oleh "adik" Mas Pristiwa, menurut "cerita" Mas Pristiwa itu.
Setelah ini terjadi sesuatu yang aneh. Tiba-tiba saja sang "adik" meninggalkan gurunya dan berpaling kepada Katoliisme sebagaimana dipahami oleh Mas Pristiwa, yakni Katolisisme yang fundamentalistik, intoleran, ekstrim dan eksklusif. ... Ini mengherankan bagi seorang yang memahami psikologi agama. ... Apa yang terjadi??? Satu-satunya "penjelasan" Mas Pristiwa adalah:
Setelah melalui berbagai proses dan pergulatan batin serta terutama karena rahmat Allah sendiri akhirnya kami kembali menjadi Katolik dan meninggalkan ilmu itu. Alasannya bukan karena ilmu tersebut jelek atau jahat, melainkan karena tidak cocok dengan iman Katolik yang ingin kami hayati kembali.
Tidak ada penjelasan lain yang lebih terinci.
Ini "rahmat Allah" yang aneh sekali. Bagaimana seorang yang tadinya toleran, menghargai semua agama, lalu tiba-tiba menjadi intoleran, fundamentalistik, ekstrim dan eksklusif? ... Barangkali Cak Nur yang psikolog bisa menjelaskan? ...
Cerita selanjutnya, tentang peristiwa "adiknya yang kesurupan" dsb tidak penting lagi.Menilik dari segi psikologi agama, saya melihat ada dua kemungkinan:
1. Seluruh "cerita" itu adalah fiktif, dan direkayasa oleh Mas Pristiwa untuk mempertahankan keyakinannya terhadap agama-agama lain;
2. Memang pernah terjadi "adik"-nya berguru, kemudian kesurupan dsb. Tetapi kejadian itu kemudian dimanipulasi dan direkonstruksi kembali sehingga dapat digunakan untuk mendukung keyakinan Mas Pristiwa sendiri. Mungkin saja sang "adik" berguru kepada seorang dukun, tetapi dukun itu dukun ilmu hitam, yang memberi pinjaman kekuatan dalam bentuk jin dsb.


Mungkin saja semua "kisah" Mas Pristiwa tentang "ajaran guru kebatinan" itu adalah rekayasa retrospektif yang dilakukannya belakangan untuk menyerang ajaran-ajaran yang pluralistic.Mungkin saja sang "adik" ketika berguru didorong keinginan untuk memperoleh ilmu-ilmu kesaktian dan bukan paham ketuhanan yang toleran sebagaimana direkonstruksikan oleh Mas Pristiwa. Oleh karena itu, sebenarnya selama berguru itu "adik" Mas Pristiwa pada hakekatnya adalah kosong secara
kerohanian.
Mungkin saja, kemudian terjadi peristiwa kesurupan, dan kebetulan ditolong oleh pastor Katolik; dan oleh karena memang jiwa sang "adik" masih kosong dari suatu paham ketuhanan, dengan mudah diisi oleh versi Katolisisme Mas Pristiwa. ... dst dst. Tentu saja, saya tidak dapat memastikan, mana di antara berbagai kemungkinan tersebut di atas yang memang terjadi. Semua kemungkinan itu saya ajukan untuk penjelaskan suatu "kisah" konversi keagamaan yang tampak mustahil kalau dikaji secara mendalam dari segi psikologi agama. Sebagaimana yang diceritakan oleh Mas Pristiwa, kisah konversi itu tidak
masuk akal.

....Jawaban...

Oleh Agus Asrul Sani

Allah telah memberikan harapan
Yang datang secara perlahan
Sehingga nampak di depan
Dengan penuh keyakinan

Ku yakin memang dari dahulu
Kau pasti menjawab do’aku
Dengan usaha yang berliku
Jawaban telah ku pangku

Cari Info lainnya di sini :

Gabung Yuk ...

Related Post :

Technology in Education from MagPortal.com