Cara Website Pemula

Custom Search

Sebuah Penantian

Oleh Agus Asrul Sani

Andai ada harapan tuk kembali
Yang datang menghampiri diri ini
Pada suatu hari nanti
Pasti diri ini sabar menanti
Di dalam hati dan nurani

Mungkin kalau itu mamang terjadi
Ku yakin itu semua petinjuk dari illahi
Yang datang hanya untuk diri ini
Dan jika itu semua kembali
Seperti awal mula yang pernah dilalui
Ku yakin itu adalah yang abadi
Untuk diri ini yang sepi

Akan tetapi kalau itu tak kembali
Mungkin itu bukan yang abadi
Dan illahi belum meridhoi
Mungkin itu semua hanya ilusi
Yang hidup dalam bunga-bunga mimpi

Dan ini memang yang harus dijalani
Dan perlu kita lewati
Dengan penuh ketabahan dari jasmani dan rohani.

Pendidikan Tasawuf dan Sastra

Oleh Agus Asrul Sani

Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilih sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi sejak awal. Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan dengan makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdot-anekdot, kisah perumpamaan atau alegori dan puisi. Walaupun sastra, khususnya puisi, sangat mempengaruhi corak kegiatan intelektual para sufi, tetapi kebanyakan dari mereka menulis tanpa niat menjadi sastrawan atau penyair. Mereka menulis berlandaskan alasan-alasan keagamaan dan keruhanian, yaitu menyampaikan hikmah dan mendapat berkat (barakah).
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqa’iq) ajaran islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas keindahan.
Aspek ketuhanan sebagai keindahan inilah yang dipandang sebagai aspek mistikal atau dimensi esoterik dari Islam, dan juga dipandang sebagai aspek Islam yang paling indah. Nyata sekali bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan, tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993, xiv-v) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah ‘tasawuf puitik’. Tasawuf puitik merupakan fenomena universal. Ia bukan hanya fenomena lokal, tidak terbatas hanya dalam lingkungan tradisi Muslim Arab atau Parsi, tetapi juga muncul dalam tradisi masyarakat lain seperti Turki, Urdu, Bengali, Cina, Melayu dan Jawa. Tasawuf puitik mempengaruhi gerakan-gerakan sastra modern di luar dunia Islam, di Timur maupun Barat.
Dari penjelasan di atas sedikit banyak telah tergambar latar belakang dan ciri-ciri lahir sastra sufistik, yang mana aspek isinya berupa gagasan dan pengalaman keruhanian yang hendak disampaikan para penulisnya. Sastra sufistik tidak terpisah dari tasawuf. Oleh sebab itu tidak mungkin membicarakan sastra sufistik tanpa membicarakan tasawuf. Tasawuf merupakan jalan keruhanian (suluk) yang ditempuh oleh para sufi dalam hasratnya mencapai kebenaran hakiki dari ajaran islam. Al-Hujwiri, meminjam pernyataan seorang syaikh sufi, menjelaskan, “Man shaffahu al-hubb fa huwa shaff, wa man shaffahu al-habib fa huwa shufi” yang artinya, “Ia yang disucikan oleh cinta, suci, dan ia yang tenggelam di dalam kekasih dan membuang segala yang lain ialah seorang sufi” (KM 34).
Di dalam penjelasan ini tampak bahwa cinta (mahabbah ataupun ‘isyq) dipandang sebagai peringkat keruhanian yang tinggi pada jalan tasawuf. para sufi sering menggambarkan cinta sebagai ‘anggur hidup’ yang menerbitkan kegairahan mistik dan dicapai melalui pengalaman intuitif tentang hakikat ketuhanan (Smith 1972, 3-4).inti tasawuf hanya satu yakni jalan keruhanian berasaskan tauhid.
Para peneliti modern menamakan tasawuf sebagai ‘ sufism’ (selanjutnya sufisme), artinya lebih kurang ialah ajaran dan pemikiran yang berlandaskan ilmu mengenai cara-cara mendekatkan diri kepada Tuhan yang diamalkan oleh kaum sufi. Di Barat tasawuf lebih dikenal dengan nama Islamic mysticism (selanjutnya mistisisme Islam ). Tasawuf yang sejati tidak ada kaitannya dengan amalan-amalan ilmu hitam seperti ilmu sihir, nujum dan okultisme.
Secara etimologi kata ‘mistik’ atau ‘mistic’ berasal dari bahasa Yunani myein, dan ada kaitannya dengan’mysteri’, serta bermakna ‘menutup mata ‘atau ‘terlindung didalam rahasia’.Menutup mata terhadap alam fenomena menyebabkan seorang sufi memiliki penglihatan ruhani yang terang dan hidup, dan dengan demikian dapat menyaksikan rahasia terdalam ( haqa’iq) ajaran agama. Haqa’iq bermakna ‘yang inti ‘,’yang hakiki’, yakni kenyataan atau hakikat ajaran agama, yang dalam Islam tiada lain kecuali tauhid.
Tasawuf yang sejati memang hanya membicarakan perkara-perkara haqa’iq dari agama. Sebagai jalan keruhanian tasawuf mengkhususkan pada syuhud, yakni penyaksian kalbu, walaupun tidak menafikan peranan penting akal dalam mencapai pengetahuan.








b.Pengertian Sufi
Sufi adalah dia yang menyakini adanya hakekat segala sesuatu, kesaksiannya adalah hakekat segala sesuatu itu kekal, sedang dunia ini merupakan persinggahan sementara. Dengan kata lain dunia yang dibatasi oleh ruang dan waktu ini merupakan alam fenomena atau kejadian yang tidak pernah tetap dan selalu berubah. Ia akan kita tinggalkan menuju dunia yang tetap dan kekal. Kesanalah para sufi berikhtiar pergi seawal mungkin.

c.Unsur Tasawuf
Secara hakiki tasawuf membicarakan tiga unsur: kodrat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan ruhani, yang hanya dengan cara demikian realisasi Tuhan menjadi mungkin dan yang hanya dengan cara itu manusia dapat mempersiapkan diri mencapai peringkat ahsan taqwim, menjadi alamat Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan sepenuhnya. Tujuan akhirnya ialah Tuhan, awal keberangkatannya ialah manusia dalam keadaannya yang rendah dan suluk dan tarekat lah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan…
Jelas bahwa tasawuf ialah jalan untuk merealisasikan tauhid. Orang yang sudah menyelami lubuk-lubuk terdalam tauhid sampai kepada maknanya yng terdalam, dan menyaksikan keesaan Yang Satu dengan mata kalbu, akan merasakan lezatnya keadaan fana dan indahnya pengalaman unio-mystica (penyatuan mistik). Sebagai balasannya Ia akan baqa, yaitu mengalami semacam kehidupan kekal di dalam Sang Wujud. Pencapaian lain yang penting di jalan tasawuf ialah kasyf dan ma’rifat. Kasyf ialah penglihatan hati yang terang atau tersingkapnya hijab yang menghalangi penglihatan seseorang terhadap Keesaan Tuhan. Makrifat ialah pengenalan terhadap keberadaan Tuhan dengan mata kalbu.
Tasawuf atau Mistisisme secara keseluruhan adalah filsafat hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana di dalam Hakekat Tertinggi serta pengetahuan tentangNya secara Intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagian ruhaniyah yang Hakekatnya sukar din ungkap dengan kata-kata, sebab karakternya bersifat Intuitif.
Melalui penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa tasawuf merupakan jalan keruhanian dalam Islam untuk mencapai makna hakiki tauhid. Sebagai jalan keruhanian ia dibina oleh para sufi berlandaskan tafsir dan penghayatan mereka terhadap ajaran keruhanian dan moral Al-qur’an dan Sunah.
Dengan mengetahui makna tasawuf, walaupun secara ringkas dan terbatas, maka sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik sebab kandungan sastra sufistik tiada lain ialah tasawuf. Seperti telah dikemukakan tasawuf membicarakan cara-cara bagaimana jiwa manusia menyempurnakan tali hubungannya dengan Tuhan dan peluang-peluang yang membolehkan jiwa dapat melakukan pendakian kealam ketuhanan.

d.Pengepresian Sufistik
Dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman keruhanian penuh makna dan menggunakan bahasa simbolik puisi, para sufi berharap supaya pembacanya memperoleh pula pencerahan dan hikmah sebagaimana yang telah mereka peroleh. Landasan Islam sastra sufistik juga sangat jelas. Ia mengekspresikan pengalaman estetik trensendental yang berhubungan erat dengan tauhid, penyaksian bahwa Tuhan itu satu, atau dengan perkataan lain Tuhan sajalah sebenarnya Yang Ada dan yang selain –Nya secara hakiki taida. Rujukan penghayatan mereka adalah Al-Qur’an dan Hadist. Karena sastra sufistik merukan ekspresi dari pengalaman kesufian, maka tidak mengherankan apabila sastra sufistik mengungkapkan renungan dan falsafah hidup yang bertuju meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia denga Kenyataan Tertinggi.
Di Jawa sastra sufistik disebut sastra suluk dan penamaan ini tepat sebab pada umumnya puisi-puisi sufistik memang mengungkapkan pendangan hidup orang yang mengamalkan ilmu suluk, nama lain untuk tasawuf (Pigeaud I 1967,85). Seperti suluk Wijil, Suluk Regol dan Suluk Kalipah Asmara. Amanat karya sufistik ialah mengajak pembacanya melakukan pendakian spiritual menuju Diri sejati da alam tinggi atau atas. Baharuddin Ahmad mengatakan,”Kesusteraan Sufi adalah tipe yang memanjangkan Hakekat Kebenaran dan Keindahan yang digambarkan secara rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan realitas alam rendah dan hubungannya dengan relitas sejati.
Bagaimana para sufi menerapkan fenomena kejadian dunia ini berlandaskan pengalaman dan perasaan yang dicapainya setelah menikmati kesadaran spiritual pada tingkat yang lebih tinggi mereka memandang bahwa fenomena kejadian di dunian ini tidak lain adalah refleksi atau bayangan diri kenyataan yang lebih tinggi, dan kenyataan ini bekerja dengan aktifnya di balik fenomena yang kelihatan sebagai poros keruhanian.
Sastra sufistik bukan sebuah genre. Penyair-penyair sufi menulis dalam pelbagai genre. Di antara genre yang dipilih oleh penyair-penyair sufi sebagai bentuk ekspresi ialah munajah, sajak dengan ungkapan-ungkapan bersahaja mirip doa, seperti yang ditulis oleh Rabi'ah al-Adawiyyah dan 'Abd Allah Anshari. Kemudian muncul genre yang disebut sajak-sajak syathiyat, penuturan yang menggunakan ungkapan simbolik dan padat, mengandung paradoks, seperti ucapan-ucapan Bayazid al-Bisthami, Manshur al-Hallaj, al-Niffari, Ahmad al-Ghazali, Ibn' Arabi dan Ruzbihan.

Al-Baqli. Kemudian para sufi juga menulis lirik, epik dan alegori. Genre yang paling terkenal ialah ghazzal,diwan (sajak-sajak pujian), matsnawi dan na'tiyah atau pujian khusus kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun para sufi menulis dalam pelbagai genre, pada umumnya karya-karya mereka merniliki ke utamaan yang sama,yaitu cinta atau 'isyq. Tema cinta selalu diungkap oleh penyair-penyair sufi sejak dulu hingga masa yang paling akhir, yakni sejak Rabi'ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 sampai Muhammad Iqbal pada abad ke-20. Oleh sebab itu tidak mungkin kita memahami karya para penyair sufi tanpa memahami gagasan mereka tentang cinta.
Cinta dipilih menjadi tema utama karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting di dalam ilmu tasawuf. Menurut para penyair sufi hanya cinta yang dapat membawa seorang salik berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi. Dalam sistem estetika sufi, cinta (mahabbah ataupun 'isyq) memiliki makna luas dan bersegi-segi. la bu¬kan cinta dalam arti yang lazim, tetapi merupakan suatu keadaan ruhani yang dapat membawa seseorang mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan ketuhanan. Cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq (ke-rinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Seperti dikatakan oleh Abu Nu'aym al-Isfahani di dalam Hilyatal-Awlya'.
Hati orang arif adalah sarang cinta ('isyq), dan hati pencinta berahi ('ashiq) adalah sarang rindu (syawq), dan hati orang rindu (syawqi) adalah sarang kedekatan (uns).Sebagian sufi menganggap cinta lebih tinggi peringkatnya dari ma'rifat, sebagian yang lain memandang bahwa peringkat cinta berada di bawah makrifat, dan yang lainnya lagi menganggap bahwa peringkat cinta dan makrifat sama. Menurut Imam al-Ghazali, cinta tidak mungkin ada tanpa makrifat, sebab orang hanya dapat mencintai apabila seseorang itu menge-nal atau mengetahui sesuatu yang dicintainya (Ibid, 130; Smith 1983,173). Ibn Sina memandang bahwa wujud tertinggi dari cinta ialah persatuan mistik (Sayyid Naimuddin 1968).
Rabi'ah berhasil menjadikan cinta sebagai media renungan terhadap Keindahan abadi Tuhan. Tokoh ini juga telah membawaperkembangan tasawuf ke tahap yang disebut oleh Nathan Soederblom sebagai Persoenlich-keitsmystik, yakni tasawuf berdasarkan hubungan pribadi antara Allah de¬ngan manusia sebagaimana diajarkan al-Qur'an (Schimmel 1982,15). Do'a Rabi'ah yang terkenal berkenaan dengan gagasannya tersebut ialah, "Tu-hanku, akan terbakarlah oleh api neraka kalbu-kalbu orangyangmencin-tai-Mu" (Abu al-Wafa al-Taftazani 1983,87).
Menurut Rabi'ah cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangan tersebut terlihat dalam do'anya yang terkenal dan kerap dijadikan rujukan oleh ahli-ahli tasawuf.


B.Kesimpulan
Di sekitar cinta, makrifat, persatuan mistik, tauhid dan tema-tema kesufian lain yang sesuai dengan kaidah keislaman, sebagaimana tersimpul dalam citra-citra simbolik, kias dan tamsil puisi-puisi Hamzah Fansuri contohnya.
Metode atau kaedah yang digunakan ialah ta'wil, suatu bentuk hermeneutika keruhanian Islam. Ta'wil pada mulanya berkembang sebagai kaidah ilmu tafsir yang mengkhususkan kajian terhadap ayat-ayat mutasyabibat, yaitu ayat-ayat tamsil atau metaforikal al-Qur'an. Sufi-sufi terkemuka seperti Imam al-Ghazali, Ibn al-'Arabi dan Jami menggunakannya pula untuk menelaah pesan keruhanian yang tersembunyi di dalam puisi-puisi penyair sufi. Ta'wil artinya 'kembali kepada asal atau awal', yaitu awal atau asal makna dari teks, makna yang hendak diturunkan oleh pengarangnya ke
dalam teks yang ditulisnya. Jadi ia merupakan upaya untuk mencapai mak¬na yang menyerupai makna asal.
Seperti hermeneutika pada umumnya ta'wil terutama berupaya me¬nelaah makna-makna tersembunyi dan samar dari teks, dan seorang pena'wil mesti berupaya pula menghilangkan kesamaran tersebut, serta berusaha memberi pemahaman dan pencerahan kepada si penafsir dan pembaca teks. Di dalam hal puisi penyair sufi, makna yang dimaksudkan ialah pesan keruhaniannya yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. mengungkap pesan keruhanian puisi sufistik Syaikh Hamzah Fansuri, yang tersimpul dan tersembunyi dalam pelbagai citra simbolik atau tamsil. Lebih lanjut mengenai kaedah ini akan dibicarakan secara terperinci di dalam bab HI yang membicarakan estetika sufi, karena ta'wil memang tidak dapat dipisahkan dari estetika sufi dan kerja sastra mereka.
Dapat ditambahkan di sini bahwa sebelum buku ini ditulis belum ada kajian khusus dan mendalam mengenai estetika sufistik, terutama yang ber¬kaitan dengan penciptaan puisi, di dalam bahasa Melayu-Nusantara. Kajian yang ada kebanyakan lebih mirip teori umum tanpa merujuk kepada pendekatan hermeneutika keruhanian yang mendasar. Selain itu juga belum banyak kajian mengenai pengaruh gagasan dan pemikiran sufi terhadap penciptaan sastra di negeri ini dilakukan, khususnya gagasan Syaikh Hamzah Fansuri terhadap penyair-penyair Melayu klasik dan modern.
Tema dasar sastra sufistik ialah 'cinta ilahi' ('isyq). Gagasan mengenai 'isyq ini menduduki tempat utama di dalam pemikiran para sufi sejak awal perkembangan tasawuf sampai masa yang paling akhir. Di antara para sufi yang membahas 'isyq di dalam kaitannya dengan estetika dan puisi, ialah Imam al-Ghazali, Ibn' Arabi, Farid al-Din al-'Aththar, Ruzbihan al-Baqli, Jalal al-Din al-Rumi, Fakhr al-Din al-'Iraqi dan' Abd al-Rahman al-Jami. Gagasan ahli-ahli sufi ini akan dijadikan landasan teoretis dalam ka¬jian ini. Selain gagasan dari tokoh-tokoh klasik ini akan dikemukakan juga pandangan para sarjana mutakhir seperti Titus Burckhard, Evelyn Underbill, Annemarie Schimmel, Seyyed Hossein Nasr, SyedM. Naquib al-Attas, Braginsky dan lain-lain.

Perpaduan Pendidikan, Agama dan Akhlak

Oleh Agus Asrul Sani

Kata perpaduan yang memiliki arti secara etimologi adalah peleburan menjadi satu/penyatuan/penyesuaian/kebulatan pendapat/kesatuan dalam berpikir, pencampuran, serta seiring maka dengan konteks judul yang membahas perpaduan ilmu pengetahuan (pendidikan) dengan agama dan akhlak perlu kita kaji dengan lebih cermat dengan memahami suatu konsep perndidikan yang dimulai dari hakekat pendidikan dan tujuan-tujuan pandidikan itu sendiri sehingga akan terporoslah dalam kancah sebuah pembentukan karakter didalam pendidikan formal dan non formal yaitu hasil atau outputnya.

Dalam dari pada itu dalam pembahasan perpaduan antara pengetahuan, agama dan akhlak, keterpaduan dalam pembahasan ini dimaksudkan adanya upaya mengisi, kuat menguatkan dan saling melengkapi antara peran dan tugas pelaksanaan pendidikan agama islam khususnya dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat dalam rangka tercapainya pendidikan agama Islam secara optimal, yang mengarah kepada alur pikir yang akan dikembangkan meliputi upaya untuk memberikan penjelasan terhadap arti dan makna masing-masing lingkungan pendidikan berserta pungsi, peranan dan tugasnya dalam keterkaitan serta pengaruh dan memperluas sehingga kegiatan pendidikan agama menjadi berkelanjutan untuk saling mengisi dan saling mengutkan, serta proses pendidikan agama tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang isi/materi pendidikan agama itu sendiri.

Dalam ilmu pendidikan kita mengenal dengan 3 sumber pendidikan yang sangat penting yaitu:
1) Pendidikan keluarga
Peranan yang menjadi dorongan atas peserta didikan awal sesuai dengan fungsinya masing-masing.

2) Pendidikan agama
Peranan yang menjadi penghalus dari pendidikan keluarga dan pendidikan formal dan non formal

3) Pendidikan Masyarakat
Peranan yang akan menguraikan tentang tujuan bagaimana peserta didik akan mengamalkan serta memberi pengaruh terhadap hubungan sesama masyarakat yang akan menjadi media pengontrol dari pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah

Sedangkan peranan pendidikan sekolah adalah jalur yang ditempuh oleh pemerintah dan legalitas yuridiksi baik berupa perundangan maupun kebijaksanaan pembangunan dalam GBHN. Dari katiga elemen diatas jelas masing-masing akan memberikan kontribusi penting yang akan menjadi sebuah acuan terhadap perkembangan pendidikan sehingga akan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Kita mengenal dengan tiga macam lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan proses belajar pendidikan agama disekolah yaitu:
I. Kelurga yang sadar akan pentingnya pendidikan agama bagi perkembangan anak.
II. Keluarga yang acuh tak acuh terhadap pendidikan keagamaan putra-putrinya dan anggota keruarga yang lain.
III. Keluarga yang antipati terhadap dampak dari keberadaan pendidikan agama di sekolah atau dari masyarakat sekitarnya

Adapun kita dapat mengenal lingkungan keagamaan di dalam masyarakat dapat kita bedakan atas :
A. Lingkungan masyarakat yang sadar akan pentingnya kehidupan keberagamaan bagi anggota masyarakatnya, sehinggga memperoleh pengaruh yang sangat diharapkan bagi perkembangan keberhasilan pendidikan.
B. Lingkungan masyarakat yang tidak menaruh kepedulian terhadap kehidupan keagamaan bagi masyarakat yang memiliki kecendrungan berkehidupan individualistic dan cendrung menampakan kecendrungan matrealistik.

Mengenai pendidikan agama di sekolah peranannya sangat diharapkan oleh semua pihak karena berbagai keterbatasan dan kesempatan orang tua dan juga keterbatasan dalam masyarakat yang kurang perduli. Oleh karena itu harus menjadi tanggung jawab sekolah untuk menjadikan serta mewujudkan keterpaduan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan agama di dalam lingkungan kularga dan masyarakat yang dijalankan oleh guru-guru agama yang melalui proses belajar mengajar sebagi pelaksanaan kurikulum di sekolah yang bersangkutan atau sekolahnya masing-masing. Maka yang ada masyarakat dan keluarga dalam perkembangan peserta didik akan semakin maju dan telah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada sekolah untuk melaksanakan tugas pendidikan bagi putra-putrinya termasuk pendidikan agama.
Ada bagan yang harus kita sepakati yang akan menjadi sebuah proses pendidikan yang bermutu serta menjadi pedoman kita yaitu :


Gambar.1 Gambar.2



Gambar.4 Gambar.3




Gambar. 5



Untuk itu pandangan kedepan terhadap tantangan dan harapan pembangunan sebuah pendidikan sector agama sebagai integral pembangunan bangsa harus segera kita lakukan. Sebab, pendidikan agama merupakan bentuk pengamalan psncasila yang diharapkan mampu mewujud menjadi landasan moral, etik dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Mengenai perpaduan pelaksanaan pendidikan agama diselenggarakan pada semua jalur jenis dan jejang pendidikan antara lain :
a) Pada pendidikan pra-sekolah, pendidikan agama ditetapkan sebagai pengembangan isi program kegiatan belajar di taman kanak-kanak (TK).
b) Pada pendidikan dasar (yang diselenggarakan selama enam tahun di sekolah dasar (SD) dan tiga tahun di sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang sedrajat, pendidikan ditetapkan bahan kajian dan mata pelajaran wajib dari isi kurikulum pendidikan dasar.
c) Pada pendidikan menengah, pendidikan wajib yang harus diselenggarakan sebagai isi kurikulum pendidikan menengah.
d) Di perguruan tinggi pendidikan agama ditetapkan sebagai mata kuliah dalam kelompok perorangan MKDD.

Jika kita cermati bahwa pendidikan jika dipadukan dengan agama maka yang kita bahas yang lebih penting lagi adalah pengolahan dalam menajemen pendidikan itu sendiri yang akan menjadi sebuah pedoman yang terarah.

Sebagai inti dari tulisan ini mengarah kepada beberapa kesimpulan :
1) Bahwa dengan ditegaskannya adanya jalur, jenis dan jenjang pendidikan termasuk adanya jenis pendidikan agama dalam peraturan perundangan tetang system pendidikan nasional, memberikan peluang untuk mengembangan pendidikan agama islam terutama dalam arti yang seluas-luasnya.
2) Bahwa madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyiah dan Aliyah wajib memmberikan bahan kajian minimal sama dengan SD, SLTP dan SMU, di samping itu bahan kajian lain yang diberikan kepada madrasah tersebut (Kepmendikbud 0487/U/1992.
3) Penyelenggaraan dari semua jenis pendidikan keagamaan dengan berbagai corak dan ragamnya harus tetap diselenggarakan tidak eksklusif artinya tidak diselenggarakan di luar system pendidikan nasional sesuai dengan UUD No.2 tahun 1989 dengan semua peraturan pelaksanaanya.

Psikologi Agama

Oleh Agus Asrul Sani


Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak na perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain. Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi keyakinan.

Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan. Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).

Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama
tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).

Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.

Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin
Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi'ah tidak tercover oleh sikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.

Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku, tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada dalam al Qur'an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberagamaan seorang muslim.

Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan
gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.

Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat rational, ada yang tradisional, ada yang "fundamentalis" dan ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh, sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.











Cerita Pengalaman Seseorang :
"Kisah" yang diceritakan oleh Mas Pristiwa tentang "adik"-nya ini menarik untuk dibahas dari segi psikologi agama (psychology of religion) . (Cak Nur yang psikolog, silakan membuka CDROM EB-nya, dan mohon ditayangkan apa yang tertulis tentang 'psychology of religion'.)
Kalau kita ikuti "kisah" Mas Pristiwa secara verbatim, maka singkatnya adalah: "Adik" Mas Pristiwa berguru kepada seorang guru kebatinan. Dikisahkan, "guru itu mengajarkan 'ilmu putih', dapat diikuti oleh penganut agama apa pun asalkan percaya pada Tuhan; tidak ada jimat-jimat, syarat-syarat yang aneh-aneh [seperti mandi kembang, puasa dsb/hh], atau 'isi-isian'."
"Yang diberikan oleh guru adalah doa-doa dan keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Guru tersebut mengatakan apapun yang kita butuhkan (termasuk kesaktian, keselamatan, dll.), mintalah terus-menerus pada Tuhan dengan penuh iman dan keyakinan yang tinggi, Tuhan pasti akan memberikannya."
Ada indikasi bahwa guru kebatinan itu berasal dari tradisi tasawuf Islam.Doa-doa harus didahului dengan: "Dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung kepada Allah dari segala gangguan Setan yang terkutuk...." Guru itu juga mengajarkan "Allah hanyalah satu dan tidak beranak atau diperanakkan, juga Allah sesungguhnya bukan di tempat lain melainkan ada di dalam diri kita sendiri. ..."
Singkat kata, "adik" Mas Pristiwa mengikuti guru ini dan memperoleh berbagai kelebihan paranormal. Di samping itu dia terdidik dalam pandangan keagamaan yang sangat pluralistik, toleran dan bersifat sangat inklusif terhadap semua agama. ... Inilah taraf kerohanian yang dicapai oleh "adik" Mas Pristiwa, menurut "cerita" Mas Pristiwa itu.
Setelah ini terjadi sesuatu yang aneh. Tiba-tiba saja sang "adik" meninggalkan gurunya dan berpaling kepada Katoliisme sebagaimana dipahami oleh Mas Pristiwa, yakni Katolisisme yang fundamentalistik, intoleran, ekstrim dan eksklusif. ... Ini mengherankan bagi seorang yang memahami psikologi agama. ... Apa yang terjadi??? Satu-satunya "penjelasan" Mas Pristiwa adalah:
Setelah melalui berbagai proses dan pergulatan batin serta terutama karena rahmat Allah sendiri akhirnya kami kembali menjadi Katolik dan meninggalkan ilmu itu. Alasannya bukan karena ilmu tersebut jelek atau jahat, melainkan karena tidak cocok dengan iman Katolik yang ingin kami hayati kembali.
Tidak ada penjelasan lain yang lebih terinci.
Ini "rahmat Allah" yang aneh sekali. Bagaimana seorang yang tadinya toleran, menghargai semua agama, lalu tiba-tiba menjadi intoleran, fundamentalistik, ekstrim dan eksklusif? ... Barangkali Cak Nur yang psikolog bisa menjelaskan? ...
Cerita selanjutnya, tentang peristiwa "adiknya yang kesurupan" dsb tidak penting lagi.Menilik dari segi psikologi agama, saya melihat ada dua kemungkinan:
1. Seluruh "cerita" itu adalah fiktif, dan direkayasa oleh Mas Pristiwa untuk mempertahankan keyakinannya terhadap agama-agama lain;
2. Memang pernah terjadi "adik"-nya berguru, kemudian kesurupan dsb. Tetapi kejadian itu kemudian dimanipulasi dan direkonstruksi kembali sehingga dapat digunakan untuk mendukung keyakinan Mas Pristiwa sendiri. Mungkin saja sang "adik" berguru kepada seorang dukun, tetapi dukun itu dukun ilmu hitam, yang memberi pinjaman kekuatan dalam bentuk jin dsb.


Mungkin saja semua "kisah" Mas Pristiwa tentang "ajaran guru kebatinan" itu adalah rekayasa retrospektif yang dilakukannya belakangan untuk menyerang ajaran-ajaran yang pluralistic.Mungkin saja sang "adik" ketika berguru didorong keinginan untuk memperoleh ilmu-ilmu kesaktian dan bukan paham ketuhanan yang toleran sebagaimana direkonstruksikan oleh Mas Pristiwa. Oleh karena itu, sebenarnya selama berguru itu "adik" Mas Pristiwa pada hakekatnya adalah kosong secara
kerohanian.
Mungkin saja, kemudian terjadi peristiwa kesurupan, dan kebetulan ditolong oleh pastor Katolik; dan oleh karena memang jiwa sang "adik" masih kosong dari suatu paham ketuhanan, dengan mudah diisi oleh versi Katolisisme Mas Pristiwa. ... dst dst. Tentu saja, saya tidak dapat memastikan, mana di antara berbagai kemungkinan tersebut di atas yang memang terjadi. Semua kemungkinan itu saya ajukan untuk penjelaskan suatu "kisah" konversi keagamaan yang tampak mustahil kalau dikaji secara mendalam dari segi psikologi agama. Sebagaimana yang diceritakan oleh Mas Pristiwa, kisah konversi itu tidak
masuk akal.

Pengembangan Kurikulum Pendidikan

Oleh Agus Asrul Sani

Ada 5 (lima) hal yang akan dibahas dalam menelaah kurikulum; (1) pengertian; (2) cakupan telaah kurikulum; (3) peserta yang terlibat; (4) cara melakukan telaah kurikulum, dan (5) bahan / hal-hal yang diperlukan dalam menelaah kurikulum.

Pengertian
Usaha sekolah untuk mengkaji ulang kurikulum yang sudah ada dengan melihat tingkat pencapaian yang sudah terealisasi (dalam aspek-aspek yang terkait dengan kurikulum) dengan tujuan melakukan perbaikan kurikulum yang mengacu pada curriculum planning yang telah tercapai.

Cakupan Telaah Kurikulum
Dalam menelaah kurikulum, penelaah harus menekankan kepada 5 (lima) aspek kurikulum, tujuan, isi, metode pembelajaran, efektivitas, dan sistem evaluasi.

Peserta yang terlibat dalam menelaah kurikulum
Broad based participation (partisipasi yang luas) merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam proses penelaahan kurikulum. Pihak-pihak yang perlu dilibatkan antara lain, kiai dan nyai, kepala madrasah, guru, santri, murid, wali santri / murid, alumni, pakar kurikulum, dan tokoh masyarakat.

Cara Menelaah Kurikulum
Beberapa tahap yang perlu dilakukan dalam menelaah kurikulum, sebagai berikut:
• Melakukan identifikasi masalah
• Melakukan cross check antara kurikulum yang direncanakan (intended curriculum) dengan pelak-sanaan kurikulum (implemented curriculum).
• Identifikasi sebab dan alternatif pemecahan

Hal-hal yang diperlukan
Untuk menelaah kurikulum perlu disiapkan kurikulum yang diterapkan (implemented) madrasah di pesantren (sekolah). Selain itu perlu didatangkan pakar kuri¬kulum.


Definisi kurikulum
Menurut Dressel (1978) kurikulum adalah "an integrated system of teaching activities, study materials, and learning experiences based upon a well-defined set of objectives", (p 297). (Sebuah sistem yang terintegrasi dengan kegiatan pengajaran, materi pelajaran, dan pengalaman belajar yang berdasarkan pada tujuan yang jelas),
Caswel dan Campbell (1935) dalam buku Curricu¬lum Development, rnendefinisikan kurikulum ...to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers (kurikulum terdiri dari semua pengalaman yang dimiliki oleh murid di bawah bimbingan guru). Dengan denukian yang dimaksud dengan kurikulum sekolah atau madrasah di pesantren meliputi semua proses belajar mengajar, materi pelajaran (pengetahuan agama, pengetahuan umum) dan segala pengalaman yang dialami siswa selama tinggal di dalam pesantren. Termasuk pengalaman berorganisasi, dan pengalaman menjalankan kegiatan ekstrakurikuler.

Meminjam istilah populer di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, kurikulum pesantren meliputi segala sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan santri selama belajar di pesantren. Dalam konteks kuri¬kulum berbasis civic education, hendaknya yang dide¬ngar, dilihat, dan dirasakan santri dalam kehidupan sehari-hari di pesantren harus menggambarkan nilai-nilai demokrasi.

Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
1. Prinsip relevansi
2. Prinsip fleksibelitas
3. Prinsip kontinuitas
4. Prinsip praktis
5. Prinsip efektivitas

Tujuan Kurikulum
Menurut Guskey (1985), tujuan pembelajaran haruslah berbentuk tujuan tingkahlaku (behavioral objective) yang menyatakan apa yang dapat dilakukan murid setelah mempelajari kandungan pelajaran. Apakah mereka dikehendaki mengingat kembali kan¬dungan yang telah diajarkan? Ataupun apakah mereka dikehendaki membuat aplikasi, analisis, sintesis, dan penilaian dengan kandungan itu?

Desain Kurikulum
Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan (Sukmadinata, 2004). Dalam desain kurikulum tergambar unsur-unsur kurikulum, hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya, prinsip-prinsip pengorganisasian, serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Menurut Sukmadinata (2004) ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam desain kurikulum: Ketentuan-ketentuan bagaimana penggunaaan kuriku¬lum serta bagaimana mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan masukan dari pengalaman. Kurikulum itu dievaluasi, bentuk desain dan sistem pelaksanaannya.

Pola Desain Kurikulum
1. Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
3. Problem centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam Islam.

B. Strategi pengembangan kurikulum
Strategi pengembangan kurikulum harus sejalan dan bersumber dari strategi pengembangan perguruan tinggi dan sekolah atau pun madrasah.. Inti strategi pengem¬bangan adalah penanganan secara berencana dan bersamaan: (1) perubahan menuju sistem pendidikan nasional yang digariskan, (2) proses meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil karya yang lebih baik, dan (3) proses pertumbuhan untuk mampu menghadapi tantangan-tantangan yang meningkat setiap tahunnya.
Dasar untuk, menentukan, strategi pengembangan adalah sebagai berikut.:
1) Kepentingan masyarakat, yaitu kemampuan berkarya dan ke¬mampuan untuk tumbuh memenuhi kebutuhan;
2) Sistem pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemampuan
berkarya dan kemampuan untuk tumbuh.
Kebijaksanaan yang ditempuh untuk menentukan strategi pengem¬bangan, terdiri atas: (1) melaksanakan langkah-langkah perbaikan sistem pendidikan tinggi yang sekarang berlaku dan (2) melaksanakan usaha-usaha ke arah pengembangan sistem pendidikan tinggi sekarang menuju ke sistem pendidikan tinggi dan sekolah yang lebih baik dilihat dari segi kepentingan bangsa sesuai dengan perkembangan sekarang dan masa mendatang.
Inti, dasar, dan kebijaksanaan tersebut juga melandasi strategi pengembangan kurikulum pendidikan sekolah perguruan tinggi dengan pemusatan pada komponen-komponen sebagaimana berikut.:
Pertama: Kebutuhan yang mendasari pengembangan kuri¬kulum, yang meliputi kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan pembangunan (masyarakat), dan ke¬butuhan subjek didik (mahasiswa, siswa, santri). Kebutuhan iptek meliputi kelompok profesi nonkependidikan dan kelompok profesi kependidikan yang masing-masing mencakup keahlian materi, akademik dan keahlian profesional. Kebutuhan pembangunan terutama ditujukan kepada aspek tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan pembangunan, sedangkan kebutuhan subjek didik (siswa, saantri, mahasiswa) adalah kebutuhan yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Kedua: Sistem dan prosedur pengembangan kurikulum yang meliputi pengembangan struktur dan isi kurikulum serta pengem¬bangan desain sistem instruksional. Prosedur pengembangan yang diharapkan adalah yang berdasarkan pendekatan sistemik dan pendekatan kompetensi, yang meliputi aspek atau komponen analisis tugas, identifikasi kemampuan, kebutuhan latihan peng¬alaman belajar, tujuan kurikuler, isi paket program, kriteria keber-hasilan, strategi belajar-mengajar, strategi bimbingan, pelaksanaan kurikulum, prosedur evaluasi, pengelolaan kurikulum, umpan balikan, dan komponen penyesuaian dan perbaikan.
Desain instruksional mencakup tujuan instruksional, perilaku awal, prosedur instruksional (tatap muka, berstruktur tak terjadwal, belajar mandiri, praktikum, seminar, kapita selekta, program pengalaman lapangan, dan sebagainya), prosedur evaluasi hasil belajar dan umpan balikan. Sistem kredit semester dan CBSA menjadi perhatian dalarn komponen ini sesuai dengan ke-tentuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Ketiga: Sistem penunjang pengembangan kurikulum yang terdiri atas unsur fasilitas dan perlengkapan, kemampuan tenaga pengajar, dan tersedianya pembiayaan pendidikan tinggi.
Kelengkapan dan kualitas fasilitas dan perlengkapan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan kurikulum harus mendapat perhatian karena hal itu membantu memperlancar kegiatan dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan tim pengembang kurikulum. Di samping itu, terciptanya suasana kerja yang menyenangkan akan memberikan motivasi kerja yang tinggi sehingga tercapainya dan dihasilkannya kurikulum yang lebih bermutu mendapat peluang yang lebih besar. Kemampuan tenaga pengajar dan khususnya kemampuan tenaga tim pengembang kurikulum merupakan syarat pokok untuk menghasilkan kurikulum yang bermutu baik. Kemampuan tenaga pengajar terutama berkenaan dengan kemampuan profesional, sedangkan kemampuan tim pengembang terutama berkenaan dengan kemampuan dalam evaluasi dan perbaikan kurikulum.
Unsur tersedianya pembiayaan untuk mengembangkan kuri¬kulum memegang peranan yang penting sebab bertalian dengan biaya untuk tenaga pengembang, biaya untuk perlengkapan administrasi, biaya uji coba, dan sebagainya. Sumber biaya ini diperkirakan berasal dari biaya dari pemerintah, biaya dari siswa, santri dan mahasiswa, biaya dari sumbangan orang tua mereka, serta biaya sumbangan pihak swasta, bahkan bantuan luar negeri tidak mustahil dapat digali dan diusahakan melalui kerja sama dengan pihak donor dan sebagainya.
Unsur waktu relatif memegang peranan dalam melaksana¬kan kegiatan pengembangan kurikulum. Sering hal ini menjadi hambatan karena berbenturan dengan kesempatan dan waktu yang tersedia pada pihak tenaga pengembang pendekatan pengembangan paket kurikulum dalam rangka pengembangan paket kurikulum perlu diperhatikan prosedur umum sebagaimana berikut.:
1) Sesuai dengan konsep keterpaduan dalam wawasan almamater, pada hakikatnya kurikulum perguruan sekolah / madrasah / tinggi memiliki dan harus dipertimbangkan dari tiga dimensi. Ketiga dimensi itu, ialah dimensi Tridharma Perguruan Tinggi, dimensi Trikarma Perguruan tinggi, dan dimensi Trikarya Perguruan Tinggi atau motto dan pabca jiwa pondok yang satu sama lain terpadu dan terpusat pada paket kurikulum itu sendiri.

C. Kurikulum yang baik untuk civic education
Kurikulum yang baik untuk Civic education mempunyai ciri-ciri berikut:
1. la haruslah terstuktur (structured curriculum). Maksudnya perkara-perkara yang perlu dipelajari haruslah berstruktur supaya terdapat hubungan antara ide dan konsep dalam suatu mata pelajaran. Kurikulum yang terstruktur membolehkan murid belajar dengan lebih mudah dan ia juga membantu mereka memahami sesuatu perkara dengan lebih mendalam.
2. la haruslah terdiri dari unit-unit pembelajaran. Hal-hal yang perlu dipelajari haruslah dipecahkan kepada unit-unit pembelajaran (atau topik-topik) mengikut satu susunan atau hierarki dan mempu¬nyai kesinambungan. Unit pembelajaran pertama haruslah dikuasai sebelum unit pembelajaran yang berikutnyai
3. Setiap unit pembelajaran mempunyai tujuan-tujuan pembelajaran dan kandungan: Setiap unit pembelajaran haruslah mengandungi kandungan dan tujuan-tujuan pembelajaran. Tujuan-tujuan pembelajaran adalah penting karena ia: a) menyatakan apa yang perlu dikuasai oleh murid;

b) membantu guru dalam menggunakan ber-bagai pendekatan mengajar dan alat bantu mengajar untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut;
c) membantu guru dalam membina ujian untuk menentukan hal-hal yang sudah dan belum dikuasai.

Metode Pengajaran
Civic education memerlukan master of teaching. Menurut J. A- Laska (1985) mastery teaching memiliki dua prinsip:
pertama, guru mestilah bersedia dan diberi kesempatan secukupnya untuk membantu murid belajar menguasai kemahiran yang diharapkan dari padanya.kerajinan, tujuan pembelajaran mestilah jelas dan sesuatu yang dapat dicapai murid. Keberhasilan civic education dalam situasi pembelajaran amat bergantung kepada peranan guru dan pendekatan pengajaran. Menurut Benjamin F. Bloom (1968) pengajaran yang efektif terdiri dari langkah-langkah tertentu dan terurutan seperti berikut:
1. Tentukan tujuan pembelajaran.
2. Sediakan pertanyaan untuk mengukur pemaham-an murid terhadap materi yang diajarkan.
3. Pastikan tujuan pembelajaran telah dipahami murid.
4. Mengajar dengan melibatkan pelajar secara aktif.
5. Sekiranya semua atau hampir semua murid telah mencapai tahap prestasi yang dikehendaki, barulah unit berikut akan diajarkan.

Dalam memilih metode pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Apakah metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk mengajarkan bahan pelajaran?
2. Apakah metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehinga dapat melayani perbedaan individual murid?

3. Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat?
4. Apakah metode/teknik tersebut dapat men-ciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kog-nitif, afektif, dan psikomotor?
5. Apakah metode/teknik tersebut lebihmeng-aktifkan siswa, atau mengaktifkan guru atau ke-dua-duanya?
6. Apakah metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7. Apakah metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di pesantren dan di masyarakat?
8. Untuk belajar ketrampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan "learning by doing" di samping "learning by seeing and knowing".
Implikasi civic education terhadap pedagogi
Civic education memiliki implikasi terhadap teori dan praktek pedagogi di sekolah. Civic education menuntut perubahan yang perlu dilakukan guru dari segi strategi pengajaran dan pernbelajaran untuk mernastikan civic education dapat dilaksanakan secara efektif. Berikut ini adalah beberapa implikasi civic education terhadap pedagogi:
1. Guru perlu yakin terhadap kemampuan belajar murid
2. Menyediakan peluang belajar yang seimbang
3. Membuat strategi dan aktivitas pengajaran dan pernbelajaran yang bervariasi
4. Menyediakan bahan pengajaran dan pernbelajaran yang bervariasi
5. Waktu mengatur kegiatan di dalam kelas
6. Membuat dan memilih bahan-bahan ujian

Learning facilities
Proses belajar-mengajar yang baik perlu didukung penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat.
1. Alat/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah tersedia? Bila alat terse-but tidak ada apa penggantinya?
2. Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya mem-perhatikan: bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatannya?
3. Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain?
4. Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruh-an kegiatan belajar?
5. Hasil yang terbaik akan diperoleh dengan menggu-nakan multi media.

Peranan guru dan murid
Dalam Civic education, peranan guru adalah sebagai pemimpin, pengajar, dan fasilitator pembelajaran. Pembelajaran adalah satu usaha melalui kerjasama di mana murid dan guru bersama-sama bertujuan menguasai apa yang hendak dipelajari. Dalam Civic education, murid perlu belajar dan bukan bertanding di antara satu sarna lain. Ini dapat dilakukan melalui pembelajaran bekerjsama (cooperative learning) dan pembelajaran sebaya (peer group learning). Murid harus diberi latihan dalam kemahiran belajar seperti kemahiran mengenal secara pasti informasi yang dikehendaki, mengumpul informasi, rnemproses informasi, dan mengungkapkan kembali informasi. Tujuan kemahiran belajar agar murid menjadi pelajar berdikari karena pada akhirnya, muridlah yang rjarus belajar untuk menguasai suatu perkara.

Hakikat evaluasi
Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar. Tanpa evaluasi proses belajar mengajar sulit untuk diukur tingkat keberhasilannya. Evaluation is a basis of decision making and change (Dressel) (Evaluasi adalah fdasar untuk membuat keputusan dan perubahan).

Tujuan evaluasi
1) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar.
2) Untuk memahami kekuatan dan kelemahan guru apakah materi pengajaran dan pendekatan yang dilaukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3) Untuk rnengukur efektivitas program pembela-jaran yang telah dilaksanakan guru.

Aspek yang dievaluasi
1) Tujuan/kornpetensi lulusan
2) Proses/metode pembelajaran
3) Pencapaian indikator

Peranan evaluasi dalam kurikulurn
1) Evaluasi sebagai moral judgment: hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya.
2) Evaluasi dan penentuan keputusan: siapa peng-ambil keputusan dalam pelaksanaan kurikulum? Pengambil keputusan terdiri dari banyak unsur, guru, murid, orang tua, kepala madrasah, pengem-bang kurikulum, dan tokoh masyarakat.
3) Evaluasi dan konsensus nilai: pelaksanaan evaluasi kurikulum harus menggambarkan nilai-nilai yang dapat dijadikan konsensus pihak-pihak yang terlibat: orang tua, santri, guru, pengembang kurikulum, administrator, dan tokoh masyarakat.

Pelaksana evaluasi
Pelaksana evaluasi kurikulum madrasah di pesan-tren adalah Kepala Madrasah dan guru.

Alat evaluasi
Untuk mengevaluasi proses/metode pembela¬jaran, evaluator (Kamad dan guru) menggunakan check list yang mengacu pada democratic learning.


D.Teknologi dalam pengembangan kurikulum
Praktek lama dalam pengembangan bahan-bahan kurikulumlebih merupakan seni dan kebijakan ketimbang teknologi. Pengembangan kurikulum telah merupakan suatu jawaban bagi beberapa nilai umum ide-ide yang penting, problema, atau keahlian di sekitar masa isi dan aktivitas nilai-nilai umum itu dapat diorganisasi. Kriteria baru bagi pembuatan kurikulum teknologis baru -baru ini saja diterima sebagai penuntun ke arah praktek. Kriteria ini adalah:
(1) prosedur pengembangan yang digunakan sebaiknyu ditinjau kembali dan dilakukan oleh para pengembang lainnya,
(2) produk-produk teknologi yang dikembangkan itu hendaknya disesuaikan dengan model-model yang dapat diulang-ulang pemakaiannya, dan sebaiknya dapat membuahkan hasil-hasil yang sama.
Akan tetapi, jantung revolusi teknologi kurikulum adalah keyakinan bahwa bahan-bahan kurikulum itu sendiri, yang bila digunakan oleh para pelajar, akan menghasilkan pelajar yang berkompetensi spesifik. Keyakinan ini merupakan suatu kemajuan yang besar melebihi keyakinan bahwa bahan-bahan kurikulum hanya merupakan sumber-sumber yang bisa atau tak bisa digunakan atau berpengaruh dalam suatu situasi tertentu. Perubahan-perubahan konsep ini dapat dihhat dari dua sisi yang berbeda sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Konsep-konsep ahli teknologi pendidikan ini mendapat tanggapan dari para pembuat (prosedur) bahan-bahan kurikulum dan para penerbit. Dan pada umumnya mereka sependapat dengan ahli teknologi kurikulum bahwa para guru perlu dibantu dalam menentukan bahan-bahan baru dan asing yang paling cocok untuk dipilih. Mereka juga membuang prasangka yang negatif atas peranan pemerintah dan swasta, dan mengakui pentingnya peranan pemerintah dan swasta dalam pendidikan, perhatikanlah bagan di bawah ini :




KRATERIA LAMA KRATERIA BARU
Apakah penulis memiliki reputasi profesional?

Apakah bahan-bahan itu didasarkan atas prinsip pedagogik? Apakah mereka konsisten dengan nasihat yang ditetapkan untuk pengajaran dan praktek? Apakah isi pelajaran itu akan memperluas pandangan anak tentang dunia ini?


Apakah seleksi-seleksi diatur ber-dasarkan tingkatan untuk memuas-kan kebutuhan dan minat anak didik seolah mereka sudah matang (dewasa)?

Apakah bagian depan dan lebarnya yang diambil sebagai tipe (model), panjang dan garis serta ruang pemi-sah sesuai dengan kematangan anak didik pada tiap-tiap tingkat?

Bagaimana baiknya bimbingan guru diorganisasi? Apakah hal ini mudah dilaksanakan?
Di mana dan sudah seberapa eks-tensifkah bahan-bahan itu dicoba-kan?

Apakah tnformasi mengenai ba-nyaknya siswa yang memulai dan melengkapi bahan-bahan tersedia? Apakah informasi itu member! tahu-kan tentang berapa banyaknya waktu yang diperlukan o!eh siswa yang ber¬beda kemampuan dalam menyerap bahan-bahan iiu dan dalam hasil belajarnya?

Apakah bahan-bahan itu merinci karakteristik siswa yang antusias yang mencakup banyaknya syarat mutlak?


Apakah bahan-bahan yang sedang direvisi dimaksudkan untuk me-nunjukkan hasil percobaan? Berapa banyak respons siswa yang diguna¬kan dalam merevisi bahan-bahan itu?

Bagaimara siswa belajar merinci ke-cakapan (skill) secara efektif? Apakah criterion-referenced test memper-lihatkan hasil yang diperoleh siswa?










Penerbit-penerbit buku teks membenarkan bahwa mereka lebih suka bahan-bahan didesain dan dievaluasi secara intuitif ketimbang secara sistematis, dan mereka mengharapkan agar intuisi-intuisi itu tidak selalu berubah-ubah, baik dalam isi maupun dalam strategi pengajarannya, karena hal ini akan merumitkan proses pendesainan program dan bahan-bahan pelajaran. Ada sebuah penerbit yang menganjurkan suatu mode pragmatis, yaitu dengan cara menyiapkan bahan-bahan yang produktif di ruang kelas secara intuitif, kemudian kita dengarkan komerrtar pemakai bahan-bahan ini, dan kita pertimbangkan masukan-masukan atau pengalaman dari guru dalam revisi atau penerbitan berikutnya.
Masalah yang timbul sekarang, yang menjadi pertanyaan penerbit, ialah: Siapa yang akan melakukan tes lapangan (field testing): biro pengerabang kurikulum atau biro lain? Teknik sampel apa yang paling cocok dipakai? Apakah perlu ditarik biaya dari sekolah untuk membantu pembiayaan percobaan dan revisi yang mahal ini? Apakah perlu menerbitkan data yang lengkap atau hanya saran-saran yang positif saja?
Suatu lembaga yang tidak mengejar laba, Educational Products Information Exchange Institute (EPIE), yaitu suatu lembaga pendidikan yang bergerak dalam bidang pertukaran produk-produk informasi kependidikan, telah mencoba mengadakan studi kelayakan yang netral, penggunaan dan keefektifan bahan-bahan, peralatan, dan sistem kependidikan. Catatan EPIE ini cenderung besifat deskriptif. Mereka menunjukkan efek-efek dari bahan-bahan dilihat dari waktu guru, biaya, dan staffing, serta rnenerangkan asumsi pokok atau landasan filosofi bahan-bahan itu.
Mereka juga menyelidiki sejauh mana pelajar memeriksa baik-buruknya bahan-bahan itu. Demikian pula di Universitas Miami telah didirikan suatu lembaga, National Center for The Evaluation of Educational Materials, yang bergerak dalam memberi bimbingan dan evaluasi keefektifan bahan-bahan kurikulum. Eva Baker dalam laporan pertanggung jawabannya tentang riset dan juga pengembangan pengajaran individual kepada pemerintah federal AS yang membantu membiayai proyek ini menunjukkan bahwa usaha-usaha yang lebih ekstrinsik (sambilan) dibuat untuk merumuskan suatu produk, yakni suatu program keterampiian (skill), keputusan untuk mengutamakan pelajaran membaca merupakan suatu keputusan yang bijaksana.
Dan setelah hal ini dilakukan jenis aktivitas yang bersifat mengembangkan di bawah ini baik untuk dilaksanakan:
a) Buat keputusan mengenai isi kurikulum (misalnya, dalam pelajaran bahasa, rinci sumber-sumber dan alat-alat yang diperlukan, atau siapkan daftar-daftar kata baru).
b) Tetapkan secara urnum untuk apa bahan-bahan itu dipakai (misalnya, bahan-bahan itu diputuskan untuk gambar buku-buku cerita guna memudahkan rnereka memahami bacaan itu).
c) Usahakan mengadakan percobaan ringkas tentang bagian-bagian, modifikasi dalam pcmilihan kata-kata, format buku, dan tipografinya.
d) Kembangkan bahan-bahan pendukung yang bersifat mendidik, seperti permainan, urutan praktek (mengerjakan sesuatu), ataurencana pelajaran. Selama tahapan ini buat tujuan yang spesifik (TIK), cobakan bahan-bahan itu pada kelompok-kelompok kecil, dan periksa kembali kalau-kalau ada hal-hal yang perlu diperbaiki.
e) Mulailah percobaan lapangan dengan rnemberi guru latihan yang sederhana, yang diikuti dengan observasi prosedur yang berlaku dalam kelas dan adakan wawancara untuk memperoleh komentar guru, i Komentar guru dan hasil-hasil criterion test sementara, dapat dijadikan basis dalam revisi.
Berdasarkan dengan langkah-langkah tersebut di atas, pembagian lain dari mengadakan suatu riset analitik dalam psikoliguistik untuk menetapkan apa yang perlu diperbaiki dalam isi struktur kata dan bahasa itu. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui efek-efek dari mode-mode dan ilustrasi respons-respons yang berbeda-beda.







E. Kesimpulan
Pembaharuan di dunia pendidikan dan pengajaran seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Semakin canggih sarana yang ada seharusnya semakin tinggi pula mutu yang dihasilkannya. Tidak terkecuali di dunia pendidikan dan pengajaran.
Pembaharuan yang efektif di dunia pendidikan dan pengajaran ini haruslah dilandasi atas pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai ilmu yang sebelumnya. Artinya, pembaharuan bermakna apabila berkelanjutan, selaras de¬ngan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Fungsi pembaharuan bukanlah sekadar meningkatkan mutu, tetapi juga dapat memanfaatkan kemajuan teknologi demi kemajuan masyarakat. Dunia pendidikan dan pengajaran haruslah mampu membentukdan menghasilkan manusia yang utuh dan berkualitas, untuk menjawab tantangan zaman.
Orang tua yang memiliki wawasan luas akan menganggap upaya pembaha¬ruan di dunia pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu yang mutlak mengingat keperluan setiap generasi selalu berubah-ubah. Komponen pengajaran yang berkaitan dengan kurikulum, program dan fasilitas memang penting, tetapi yang lebih penting lagi ialah komponen guru yang siap dan terlatih untuk melaksanakan pembaharuan itu. Dalam makalah ini disajikan pelbagai metode yang dapat digunakan sebagai masukan guru, calon guru, orangtua, para peminat untuk berperan serta dalam Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, karena pembaharuan itu sendiri tidak dapat terjadi dengan sendirinya.Untuk itu harus ada yang menjadi sebuah pembaharu yaitu kita.

Pendidikan Anak dalam Agama Islam

Oleh Agus Asrul Sani

Dalam hal pemeliharaan anak sama halnya dengan hadhanah yang berasal dari kata arab “Hidahan”, yang memiliki arti ; Lumbung, dan seperti kata: Hadhanah ath-thaairu baidhahu yang memiliki arti : burung itu mengempit telur di bawah sayapnya, begitu pula dengan seorang permpuan (Ibu) yang mengempit anaknya.

Dan para fuqoha mendefenisikan bahwa hadhanah ialah suatu pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum Tamyi, tanpa perintah padanya, menyediakan suatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari suatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mempu berdiri sendiri menghadi hidup dan memikul tanggung jawabnya.”

Mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib sebab jika kita mengabaikannya berarti kita tinggal menunggu kepada bahaya kebinasaan.Hadhanah adalah kewajiban hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusan dan orang yang mendidiknya. Dan ibunyalah yang memberikan peranan yang seperti ini karena rosulullah bersabda:”Engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya (anak)”.

Dari kesemua itu maka wajiblah seorang ibu untuk mengasuh anaknya hingga dewasa dan jika ternyata hadhananya bisa ditangi oleh orang lain maka boleh saja akan tetapi diawali terlebih dahulu dengan menjadikan sebuah kesepakatan oleh ibu kandungnya, jika memang ibu kandungnya tidak merelakan anaknya diasuh oleh orang lain maka gugurlah kekadhanahan tersebut, karena nenek sumpanya juga punya hak hadhanah (mengasuh).

Dalam pendidikan yang paling penting ialah anak kecil dalam pangkuan ibu-bapaknya, karena dengan pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak untuk menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang, karena padahal ibu lebih berhak terhadap anak daripada ayahnya.

Kenapa seperti itu,ibu diutamakan dialah yang berhak menyusui dan lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya. Juga ibu memiliki rasa kesabaran untuk melakukan tugas-tugasnya yang tidak dimiliki ayahnya, ibu juga lebih memiliki waktu untuk melakukan pengasuhanan terhadap anaknya itu, dimana ada hadits yang menyatakan bahwa: Dari Abdullah bin Amr, bahwa seorang perempuan bertanya:”ya Rosulullah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi benjananya, lambungku yang menjadi pelindungnya dan tetekku yang menjadi minumannya. Tetapi tiba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya dariku,”Maka sabdanya:”Engkau lebih berhak terhadapnya, selama engkau belum kawin dengan orang lain.”
Walau ada hal dalam urutan-urutan orang yang berhak dalam mengasuh, maka ibulah yang paling pertama melihat hadist diatas adapun pendapat para ahli fiqih bahwa pihak ibulah yang paling didahulukan dari pada krabat ayahnya dan urutan-urutannya sebagaimana berikut : Ibu, jika ada sesuatu hal yang kurang mampu maka berpindahlah ketangan ibunya ibudan keatas.jika ada suatu halangan maka berpindahlah ketangan ayahnya , kemudian saudara perempuannya sekandung, kemudian saudara perempuannya seibu, kemudian saudara perempuannya seayah, kemudin keponakan perempuan sekandung, lalu kepenakannya seibu, kemudian saudara perempuan ibu yang sekandunglalu saudara perempuan ibu yang seibu, lalu saudara perempuan ibu seayah, kemudian keponakan perempuan ibu seayah, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya sekandung, lalu saudara laki-lakinya seayah, kemudian bibi dari ibu, lalu dari bibi ibu yang seibu, lau dari bibi ibu yang seayah, lau bibinya ibu dari ayah ibu, lalu dari bibinya ayah dari ayahnya ayah. Nagitulah urutan-urutan yang dapat mengasuh anak lebih didahulukan yang sekandung dari masing-masing keluarga ibu dan ayah.
Dan juga harus memiliki beberapa syarat-syarat juga dalam hal ini karna itu semua akan membawa ketergantungan si anak nanti, antara lain persyaratannya sebagaimana berikut:
1. Berakal sehat
2. Dewasa
3. Mempu mendidik
4. Amanah dan berbudi
5. Islam
6. Ibunya belum kawin lagi
7. Merdeka
Putusnya Perkawinan
Dalam putusnya perkawinan berarti sudah dalam keadaan berkeluarga akan tetapi disini saya menyamakannya dengan bahsa yang taka sing lagi bagi umat islam yaitu talak, sedangkan talak itu berasal dari bahasa arab “ithlaq” yang memiliki arti “ melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah agama “talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.”
Dalam kelanggengan kehidupan rumah tangga merupakan tujuan yang sangat diinginkan oelh umat islam akad nikah diadakan adalah unutk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia agar suami dan istri dapat menjadikan sebuah kehidupan yang mewujudkan kehidupan rumah tangga tempat berlindung, menikmati rasa kasih saying dan dapat memelihara anaknya hingga tumbuh dewasa dengan pertumbuhan yang baikbahwa ikatan antara suami dan istri itu adalah ikatan paling suci dan paling kokoh dan tiadk ada dalil-dali yang secara merinci mengenai kesucian berkeluarga kecuali dari Allah SWT sendiri, yang menjadi ikatan antara suami dan istri dengan “mitsaqun-ghalizhun” artinya “Perjanjian yang kokoh”.dalam ayat Al-qur’an surat An Nisa :21 Allah berfirman :“….dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu sekalian perjanjian yang kuat”.
Siapa saja yang mau merusak hubungan antara suami dan istri oleh islam dipandang telah keluar dari islam dan tidak punya tempat terhormat dalam islam kerena seakan-akan menyepelekan atas perjajanjian yang telah disepakati pada saat perkawinan (akad nikah) dalam hal ini dalam sabda Rosulullah :”Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rosulullah saw. Bersabda:”Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Azza wajalla ialah talak”( H.R.Abu Daud dan Hakim dan disahkan olehnya). Dalam hal para ahli fiqih berbeda pendapat dan pendapat yang paling benar dalam hal ini dia antara semua pendapat itu mengatakan “terlarang”.








Akibat Putusnya Perkawinan
Dalam persoalan ini banyak putusnya dalam perkawinan mengakibatkan banyak kerugian terhadap kedua belah pihak antara suami dan istri terlebih lagi akibat dari kesemuanya itu adalah anak yang menjadi imbas, terlebih lagi dalam melakukan pembagian harta gono-gini yang menjadi rebutan yang mungkin akan menimbulkan bencana yang paling besar. Atau bahkan tidak melaksanakan apa yang telah dianjurkan oleh agama islam yang menjadi kewajiban dan hak suami dan istri tidak dijalankan dengan sebaik-baiknya sehingga yang akan timbul adanya kegoncangan dalam rumah tangga dan mengakibatkan keruntuhan.
Biasanya yang paling mendasar terjadinya putusnya perkawinan adalah pemberian nafkah yang kurang, dan perbedaan karakter dan pendapat dikedua belah pihak.

Rujuk
Yang dimaksud dengan rujuk adalah “mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.”
Perceraian ada tiga cara :
1. Talak bain kubra ialah laki-laki tidak boleh rujuk lagi dan tidak boleh menikah lagi dengan mantan istrinya kecuali sudah menikah lagi dengan laki-laki lain.
2. talak bain sugra ialah suami tidak sah untuk rujuk lagi, tapi boleh menikah lagi baik dalam masa iddah atau habis masa iddahnya.
3. Talak raj’i ialah bagi sang suami boleh rujuk kembali kepada istrinya selama si istri masih dalam iddah.

Hukum Rujuk itu ada beberapa hal diantaranya:
A. Wajib, jika suami menelak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak.
B. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti si istri.
C. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya
D. Jaiz (Boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli
E. Sunat, jika suami ingin memperbaiki keadaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya.
Adapun rukun Rujuk antara lain:
1) Istri
2) Suami
3) Saksi
4) Sigat (lafaz)
Rujuk dengan perbuatan memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam pemahaman ulama, Syafe’I berpendapat berpendapat tidak sah.

Akal dan Wahyu

Oleh Agus Asrul Sani

Islam didasarkan kepada kitab wahyu, Qur’an. Apa yang dimaksud dengan wahyu dan apa arti kata Qur’an Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang berarti suara, bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi.' Kata Qur'an, bentuk participle (fi’l al-madi) dari kata qara’a, ‘membaca’. Filologis-filologis orientalis mengusulkan bahwa kata qur'an memiliki asal-usul Syria atau Hebrew, tetapi pengamatan ini tidak memodifikasi pengertian yang dituntut oleh konteks qur’anik itu sendiri. 2 Qur’an memiliki nama-nama lain seperti al-kitab (‘Kitab’), al-dzikir (‘peringatan’), al-furqan (‘pembedaan’ atau bukti yang membedakan).
Sewaktu saya masih belajar di gintung, ucapan ustadz yang paling menyenangkan adalah pernyataannya bahwa Islam adalah agama paripurna, Islam tidak hanya mengurusi urusan akhirat, urusan dunia, bahkan urusan kamar kecil, ada aturannya dalam Islam. Ustadz memang tidak mengatakan bahwa akal umat Islam boleh istirahat karena semua urusan sudah diatur wahyu. Tetapi, waktu itu akal sering diidentikan dengan akal-akalan, dengan nafsu. Makanya, sejak awal kita diamit-amit: hati-hati dengan akal, apa yang baik menurut akal belum tentu baik menurut wahyu dan sebaliknya, apa yang dipandang buruk oleh akal belum tentu buruk menurut wahyu.
Sekarang kita menyadari bahwa persoalannya tidak sesederhana seperti itu. Memang benar wahyu mengatur banyak urusan termasuk urusan-urusan kecil, tetapi justru banyak urusan yang besar-besar tidak diatur wahyu; wahyu tidak mengatur bagaimana umat Islam harus bernegara, memilih rajanya, membangun ekonominya, menjaga kelestarian alam, mengatur hak-hak anak, perbudakan , binasalah kewanitaan, hubungan internasional dan sebagainya.

____________________
'Harun Nasution. Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), him. 15.
2Mohammed Arkoun,. Rethinking Islam. Diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq (Yogyakarta: LPMI, 1996), him. 45-46.

Pemuka Islam modern berkala bahwa apa-apa yang tidak diatur wahyu adalah tugas akal untuk memikirkannya. Yang tidak boleh dicampuri hanyalah apa-apa yang sudah ada ketetapannya dalam Qur’an. Kedudukan akal sangat penting. Agar seseorang bisa membenarkan wahyu ia harus berpikir rasional3. Quran mengkritik orang-orang kafir sebagai orang-orang yang tidak menggunakan akal (5:58, 26:28, 10:100,30:24, 30:28 39:43). Kita sudah familier dengan formula-formula seperti itu.
Di satu sisi kita berpandangan bahwa akal sebenarnya mempunyai kesanggupan untuk menentukan baik dan buruk bahkan dalam urusan-urusan besar, sementara apa yang telah ditetapkan wahyu, walaupun dalam urusan-urusan kecil (soal rambut palsu, berhias, kamar kecil, janggut), akal tidak bisa menentukan baik dan buruk? Bagaimana kalau akal bertentangan dengan wahyu?
Pertentangan akal dan wahyu diselesaikan oleh para filosof Muslim dengan mentakwil wahyu. Apabila hasil kontemplasi bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus ditakwil. Kita (para filosof), kata Ibn Rusyd, berani memastikan seyakin-yakinnya terhadap capatan yang dihasilkan metode burhan. Tetapi, kalau ternyata bertentangan dengan makna lahir teks, maka teks tersebut terbuka untuk menerima pentakwilan4.
Sebelum diundangkan Undang-undang No. 1/1974, kemudahan kawin-cerai dan poligami (poligini) sesuai dengan syariat, telah disalah gunakan oleh umat. Angka penceraian dan poligami menjadi sangat tinggi, Sewaktu Undang-undang tersebut dibicarakan di DPR, timbul perdebatan tentang dicantumkannya keharusan suami yang akan mentalak isterinya untuk meminta izin dari Pengadilan Agama, tentang kebolehan (persyaratan) poligami, tentang harta perkawinan, dan tentang alimony, ‘tunjangan hidup yang harus diberikan suami kepada bekas istrinya’5. Keberatan mayoritas umat Islam adalah anggapan bahwa manusia tidak boleh mencampuri ketetapan wahyu.
Masalah akal dan wahyu adalah sentral untuk kemajuan umat beriman, oleh karena itu masih relevan untuk mernbicarakan kembali pandangan-pandangan ulama klasik tentang kedudukan akal.
___________________
3"Dan apabila kamu sent (mereka) kepada xemhahyang, merckajadikan dia sehagai ejekan dan permainan. Yang demikian itu, karana mcreka kaum yang tidak mempunyai akal" (Q., 5:58).
4Ibn Rusyd Kaitan Filsafat Dengan Syariat,Diterjemahkan oleh Ahmad Shodiq Noor (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), him. 20-21.
5Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 46.
Pandangan Berbagai Aliran
a. AI-Mu’tazilah
Dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan dijumpai persoalan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kaitan dengan dua masaiah poko yaitu soal mengelahui Tuhan dan soal perbuatan baik dan jahat. Persoalan pertama berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan? Kalau ya, dapatkah akal merigetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan? Dalam masalah ke dua dipersoalkan tentang kesanggupan akal untuk mcngetahui apa yang baik dan apa yang jahat dan dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat?
Kauin Mu'tazilah beranggapan bahwa akal memiliki kesanggupan untuk mengetahui semua masalah tadi. Dengan demikian sebelum turun wahyu, manusia punya kesanggupan dan oleh karenanya sudah dibebani kewajiban untuk berterima kasih kepada Tuhan, mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan jahat. Sebagaimana dikutip Harun Nasution, al- Syahrastani dalam bukunya Kitah al-Milal wa al-nihal, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih) kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Abu al-Huzail dan pemimpin-pemimpin Mu'tazilah yang lain seperti al-Nazzam al-Jubba'i dan anaknya Abu Hasyim berpandangan sama mengenai hal ilu. Golongan al-Murdar bahkan beranggapan lebih jauh lagi. Menurut faham mereka, sungguhpun wahyu belum ada, manusia berkewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam neraka6.
Walaupun demikian ada perbedaan yang jelas antara kewajiban-kewajiban yang bisa diketahui dan dimotivisir oleh akal dan kewajiban-kewajiban yang diketahui dan dimotivisir wahyu. Norma-norma yang dikukuhkan oleh akal bersifat universal, sebaliknya norma-norma yang dikukuhkan oleh wahyu adalah bersifat khusus.



_____________________
6 Harun Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: Penerbil Universitas Indonesia, 1986), hal. 80-81.

Seseorang dengan menggunakan kecerdasannya dapat mengetahui tujuan yang umum yang seharusnya ia lakukan, tetapi aturan-aturan yang lebih rinci dan tata cara yang diberikan wahyu memberikan pedoman dan bimbingan praktis. Aturan-aturan rinci yang diberikan wahyu akan senantiasa selaras dengan prinsip-prinsip universal yang bisa diketahui akal7. Jadi, walaupun manusia dengan akalnya bisa meyakini adanya Tuhan dan keharusan berterima kasih kepada-Nya, tetapi rituil-rituil khusus dalam beribadat kepada Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu. Ibn Tuiail, dalam ceriteranya "Mayy Bin Yaqzan", mempunyai pandangan yang sama dengan pandangan Mu'tazilah. Hayy Bin Yaqzan adalah bayi yang dibuang ke pulau tak berpenghuni oleh bapaknya bernama Yaqzan yang hidup di pulau lain. Hayy tidak pernah berhubungan dengan manusia, sampai ia dewasa. la dibesarkan oleh seekor rusa betina, dan ia tumbuh dan belajar dari alam. Dalam usia dewasa ia senang berkontemplasi sampai akhirnya ia meyakini adanya Sang Maha wujud yang wujud-Nya tetap tanpa sebab, bahkan Dia-lah Sebab bagi adanya semua alam. Lebih dari itu ia menyadari bahwa kebahagiaannya berkantung kepada kedekatannya pada-Nya dan pada usaha mcnyerupai-Nya. Karena itu, membanyakan makan termasuk kelakuan yang menjauhkan diri dari keserupaan dengan-Nya, sehingga sering ia tidak makan.
Suatu ketika seorang pemuda bernama Asal, pergi ke pulaunya Hayy. Ia seorang yang taat kepada agama (millat) yang dibawa seorang nabi, ia menyukai pemencilan ('uzlah) dan hidup sendirian (infirad) sebagaimana diajarkan oleh syariat. ia menyenangi pulau tempatnya Hayy karena menduga pulau itu tidak berpenghuni.
Pada pertemuan Asal dengan Hayy, terjadilah suatu keajaiban. Hayy bisa mengerti apa yang diceriterakan Asal tentang syariat, tentang alam ilahi, surga, neraka, kebangkitan, perhitungan, penimbangan amal kelak serta jalan akhiral (sirat). Hayy mengerti semua itu karena tidak berbeda dari hasil persaksiannya. Hayy hanya perlu belajar amal lahirih seperli salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.



______________________
7Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 210.
b. Al-Asy'ariyah
Dalam aliran Asy'ariah, al-Asy'ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu'tazilah di atas. Menurut pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya''.
Asy'ari menerima kenyataan bahwa ada sejumlah kebenaran mengenai alam dan Perancangnya, yang bisa diketahui akal. Misalnya, dengan melulu akal seseorang bisa sampai kepada pengetahuan bahwa dunia ini tergantung, sifat utama Sang Pencipta adalah hidup, dan pengetahuan lain yang bisa mendorong seseorang untuk bisa membenarkan ajakan Nabi-nabi. Tetapi, kita tidak bisa berhenti hanya sampai aspek-aspek yang menunjukkan kcmasukakalan (reasonableness) saja. Kita mcmerlukan wahyu agar perbuatan-pcrbuatan kila sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan. Lebih dari itu, pahala dan hukuman didasarkan kepada kenyataan apakah perbuatan seseorang sesuai atau tidak dengan perintah wahyu.
Pemuka Asy'ariah yang lain seperti al-Baghdadi, berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. jika seseorang, sebelum wahyu turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifatnya dan kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimaksudkan ke dalam surga, maka itu atas kemurahan Tuhan. Jika, sebelum adanya wahyu, orang itu kafir dan atheis, ia tidak mesti mendapat hukuman. Tokoh Asy'arih yang paling berpengaruh, al-jhazali, berpandangan sama. Pandangannya tentang upah dan hukuman (reward and punishment) sebelum adanya wahyu, jelas bertentangan sekali dengan faham Mu'tazilah sebagaimana diutarakan di atas.
Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution dari buku al-Ghazali, "Al-Iqtisadfi al-l'tiqad", paham pemuka Asy'ariah seperti itu rapat hubungannya dengan definisi baik dan jahat. Menurut al-jhazali, suatu perbuatan bersifat wajib kalau tidak dilakukannya perbuatan tcrsebut menimbulkan kemudaratan bagi manusia kelak di akhirat. Mengenai soal baik dan jahat, al-Ghazali menerangkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan diukur dari tujuan pembuat. Suatu perbuatan disebut baik atau juruk, kalau perbuatan tersebut sesuai atau bertentangan dengan maksud pembuat. Karena kita baru bisa mengetahui maksud pembuat hanya melalui wahyu, maka oleh karenanya perbuatan baik kalau buruk hanya diketahui dengan wahyu. Adapun soal mengelahui Tuhan, al-Ghazali menyatakan bahwa wujud Tuhan dapat dikelahui melalui pemikiran tentang alam. hal ini diperkuat oleh keterangannya bahwa obyek pengetahuan terbagi tiga; yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan termasuk kategori pertama, yaitu yang dapat diketahui dengan akal lanpa wahyu12.
Ghazali membedakan 4 macam penggunaan akal. Pertama, akal merupakan kualitas yang dapat membedakan manusia dari binatang dan menyebabkan tumbuh berkembangnya ilmu teoritis. Kedua, sebagaimana dalam matematik, akal memungkinkan kita untuk rnembuat permainan yang tersusun dari ituran-aturan kebenaran yang sudah pasti (necessary truth). Ketiga, yang tidak umum, akal dipersamakan dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman dan yang Keempat, akal sebagai pengendali hawa nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang. Ghazali menerima suatu kenyataan bahwa paling tidak ada beberapa aturan etika yang termasuk dalam wilayah pengetahuan rasional. Aturan-aluran itu dapat menjelaskan dengan baik tentang bagaimana orang yang manusia hidup bersama. Tetapi, Ghazali sangat berpegang teguh pada pendirian yang menekankan pentingnya taat kepada wahyu, semata-mata karena itu perintah, terlepas dari penilaian manusia. Memang benar, beberapa perintah seperti zakat, misalnya, memiliki tujuan rasional yang sangat kuat, tetapi perintah-perintah yang lain seperti melempar setan di Mina harus dilaksanakan semata-mata karena itu perintah.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di antara pengikut-pengikut al-Asy'ari terdapat persesuaian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah wujud Tuhan. Ketiga soal lain (yaitu kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat, dan kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat) hanya bisa diketahui melalui perantaraan wahyu.









c. AI-Maturidiyah
Timbulnya aliran Asy'ariayah dianggap merupakan reaksi terhadap aliran Mu'tazilah. Al-Maturidi yang merupakan salah satu tokoh aliran Asy’ariah memunculkan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Asy'ariyah. Pikiran al-Maturidi ini dinilai lebih dekat kepada Mu'tazilah dalam pandangannya tentang kedudukan akal dan wahyu. Mungkin lebih tepat untuk disebut sebagai aliran yang mengambil jalan tengah antara Asy'ariayah dan aliran Mu'tazilah. Pemikirannya kemudian dikenal dcngan aliran Maturidiyah Samarkand. Sementara pemahaman al-Maturidi lebih dekat kepada faham Mu'tazilah, salah seorang pengikutnya, al-Bazdawi, mengembangkan faham yang lebih dekat dengan Asy'ariayah. Walaupun pemikiran al-Bazdawi ini biasa juga disebut Bazdawiah, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Maturidiyah Bukhara karena fahamnya berkembang di wilayah Bukhara. Aliran Maturidiyah Bukhara kurang mendapat perhatian khusus, umumnya para pembahas menyatukan kedua aliran tersebut sebagai al-Maturidiyah saja.
Abu Mansur AI-Maturidi (Diperkirakan lahir tahun 852 M) beranggapan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan beriman kepada-Nya. Sebelum turun wahyu, iman kepada Tuhan dan bcrterima kasih kcpada-Nya wajib dengan akal. Akal bisa rnengetahui sifat baik dari yang baik dan sifat buruk dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat jahat adalah jahat dan berbuat baik adalah baik. Sampai batas ini pandangan al-Maluridi sama dengan pandangan Mu’tazilah. Pandangannya berbeda ketika ia menjawab pertanyaan, sanggupkah akal mengetahui (kewajiban manusia untuk berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jelek) Al-Maturidi beranggapan akal tidak akan sanggup kewajiban untuk berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jelek. Kewajiban ini hanya bisa diketahui melalui wahyu
Al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi, al-Bazdawi berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan sendirinya, manusia juga tidak diwajibkan untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Menurutnya, kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Alasan al-Bazdawi bahwa sebelum adanya vvahyu manusia belum diwajibkan untuk mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan belum diwajibkan untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan (walaupun kesemuanya bisa diketahui akal) adalah ayat 134 surah Tha-haa. Derdasarkan ayat ini kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidak wajib.
Dibandingkan dengan pemahaman lainnya, posisi al-Bazdawi bisa dilihat dalam tabel dibawa ini:
Aliran
Mengetahui Tuhan
Kewajiban Mengetaui Tuhan
Mengetahui Baik dan Jahat
Kewaj. Menger. Baik & Menj. jahat

Mu'tazilah
akal
akal
akal
akal

Asy'ariah
akal
wahyu
wahyu
wahyu

Al-Maturidi
akal
akal
akal
wahyu

Al-Bazdawi
akal
wahyu
akal
wahyu




B.Kesimpulan
Setiap orang dilengkapi dengan akal, tetapi tidak setiap orang memiliki akses yang sama terhadap wahyu. Seseorang yang dilahirkan dari orang tua Muslim dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim akan menjadi seorang Muslim yang baik, selama ia mau menjadi anak yang baik atau menjadi seperti orang lain disekitarnya Berbeda, tentu saja, dengan seseorang yang lahir dari orang tua yang ateis di tengah-tengah masyarakat komunis Rusia, hanya mukjizat yang bisa membawa ia menjadi seorang Muslim.
Tidak ada yang beranggapan bahwa,orang-orang yang tidak kesampaian wahyu akan disiksa kelak di akhirat, juga tidak ada yang beranggapan mereka semua akan masuk surga. Tetapi, apakah Tuhan cukup adil dengan memperlakukan orang yang tidak kesampaian wahyu seperti binatang (terbebas dari pengadilan Tuhan, terbebas dari hisab). Bagaimana sikap mental kita seandainya ada firman Tuhan (untuk mereka yang tidak kesampaian wahyu): "Sama saja untuk kalian apakah engkau curi barang milik tetanggamu atau engkau kasihi mereka, apakah engkau minum "vodka" atau mejadi sukarelawan di rumah jompo, kalian semua tidak akan dihisab".
Mu'tazilah menjawab persoalan ini dengan menyatakan bahwa orang-orang yang tidak kesampaian wahyu pun dihisab. Sesuai dengan tuntunan akalnya, mereka wajib bertingkah laku benar. Akal sanggup niembimbing manusia untuk menciptakan norma-norma kehidupan bersama, menentukan tolak-ukur (yardstick) perilaku baik dan buruk, meyakini adanya Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Manusia wajib mengikuti norma-norma itu, karena hanya dengan cara demikian kehidupan bersama yang baik bisa diwujudkan.
Dalam konteks kehidupan sekarang, pandangan Mu'tazilah lebih realistis. Secara demonstratif negara-negara maju menunjukkan superioritasnya. Ternyata akal telah sanggup menjadikan mereka superior bukan saja dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang-bidang yang selama ini merupakan bagian garapan wahyu meningkatkan perilaku baik (kebersihan, keadilan, kejujuran) dan memerangi perilaku buruk (dusta, tidak menepati janji, korupsi). Korupsi merajalela bukan saja di negara-negara yang mayoritas penduduknya kafir, atau instansi-instansi yang rnengurusi masalah profan, tetapi juga di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan instansi yang mengurus soal zakat dan haji. Tetapi, terbukti korupsi bisa ditekan sampai batas minimal dan kebersihan dan disiplin penduduk ditingkatkan di negara-negara dimana low enforcement berhasil ditegakkan. Strict enforcement dari hukum ternyata lebih penting dari persoalan apakah hukum tersebut merupakan produk akal atau produk wahyu.


Kalau dalam masalah duniawi akal punya peranan yang dominan, tidak demikian halnya dalam masalah ibadah dan akidah. Pengalaman kita mengantarkan kita pada suatu kesadaran tentang betapa rapuh dan betapa tidak pastinya hidup ini. Perasaan takut akan menjadi bangkai, akan ditinggalkan atau meninggalkan orang-orang yang kita kasihi, akan senantiasa membayangi kehidupan kita. Walaupun kita tidak pernah tahu kapan ketakutan itu akan terjadi, tetapi kita yakin itu pasti terjadi. Semakin kita berusaha untuk melupakan betapa rapuhnya hidup ini, semakin kuat ketakutan itu muncul ke permukaan. Oleh karena itu, manusaia membutuhkan kepercayaaan kepada yang gaib. Kepercayaan tersebut akan menentramkan naluri dasar rasa takut ( basic fear). Akal membimbing manusia kepada iman, bukan karena yang diimani itu rasional, tetapi karena iman kepada yang gaib itu sangat diperlukan. Iman itu sendiri timbul karena seseorang mau menunda untuk memperoleh jawaban rasional terhadap berbagai pertanyaan rasional. Makanya, dalam Islam, "yang gaib" bukan untuk dipertanyakan, tetapi untuk diimani. Walaupun akal yang membimbing seseorang untuk beriman kepada yang gaib, tetapi wilayah gaib bukan domain-nya akal, tetapi wahyu.
Karena usaha para filosof untuk menjelaskan masalah eskatologi dengan akal, maka hasilnya adalah kehidupan akhirat yang gersang, tidak menarik. Qur’an sendiri menyalakan semua berita akhirat itu sebagai "kabar gembira" dan "kabar menakutkan". Oleh karena itu, saya merasa lebih komfortabel, lebih nyaman, dengan gambaran alam gaib menurut wahyu, biarkan Tuhan benar adanya, let God be true.
Clarence Darrow menyatakan bahwa kebangkitan tubuh adalah mustahil karena untuk membangkilkan tubuh-tubuh itu, Tuhan harus mengumpulkan semua unsur tubuh manusia yang sudah diserap tubuh-tubuh yang lain. Dalam bidang ekologi, kita mengenal food-chain. Bangkai manusia akan mengalami dekomposisi menjadi hara yang merupakan makanan bagi tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan akan menjadi makanan hewan dan hawan menjadi makanan manusia dan selanjutnya. Rantai itu bulat dan utuh, tidak terputus. Jadi kalau seorang saja manusia dibangkitkan berarti berapa banyak hewan, tumbuhan, dan manusia lain harus mati. Sikap Darrow telah diantisipasi oleh Qur’an. "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh itu?" (Q., 36:78).
Menurut pandangan saya, hubungan akal dan wahyu adalah hubungan sikuensial (sequential). Salah satu memulai perannya pada saat yang lain menghentikan peranannya. Akal dan wahyu memiliki wilayah integritasnya masing-masing dan keduanya tidak bisa dipertentangkan.

Dasar Pendidikan Islam

Oleh Agus Asrul Sani

Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiap negara mempunyai dasar pendidikannya sendiri. la merupakan pencerminan filsafat hidup suatu bangsa. Berdasarkan kepada dasar itulah pendidikan suatu bangsa disusun. Dan oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap bangsa itu berbeda karena mereka mempunyai falsafah hidup yang berbeda.
Dasar pendidikan di Malaysia misalnya, diasaskan kepada prinsip-prinsip Rukun-negara, karena Rukun-negara adalah merupakan filsafat hidup bangsa Malaysia. Prinsip-prinsip Rukun-negara itu ialah seperti berikut:
1) Kepercayaan kepada Tuhan
2) Kesetian kepada Raja dan Negara
3) Keluhuran perkembangan
4) Kedaulatan Undang-undang
5) Kesopanan dan kesusilaan.

Begitu pula di negara Pakistan, sesuai dengan tujuan pembentukannya sebagai, negara Islam, dasar pendidikannya adalah Islam, sebagaimana diputuskan oleh konfrensi pendidikan yang diadakan oleh menteri Pendidikan Pakistan pada bulan Nopember 1947. Konfrensi itu memutuskan beberapa prinsip yang berbubungan dengan dasar pendidikan di negara Pakistan sebagai berikut:
(1) Education should bebased on the Islamic conception of universal brother¬hood of man, social democraq and social justice.
(2) It should be compulsery for students to learn the fundamental principle to their religion.
(3) There should be proper integration of spiritual, sosial and vocational ele
ments in education.

Dari contoh yang tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dasar pendidika sebudi negara adalah disesuaikan dengan filsafat hidup bangsa yang be sangkutan, karena sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa filsafat pendidikan suatu bangsa itu adalah merupakan refleksi daripada filsafat hidup bangsa itu sendiri.
Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada: (1) Dasar ideal, (2) Dasar operasional.

B. DASAR IDEAL PENDIDIKAN ISLAM
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk:


1.Al-Qur’an
Umat sebagai suatu umat yang dianugrahkan Tuhan suatu kitab suci Al-Qur'an yang lengkap dengan segala petunjuk yang mehputi seluruh aspek kehidup dan bersifat universal, sudah barang tentu dasar pendidikan mereka adaf bersumber kepada filsafat hidup yang berdasarkan kepada Al-Qur'an. Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Qur'an sebagai dasar pendidikan Islam samping Sunnah beliau sendiri.
Kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur'an itu sendiri. Firman Allah: Artinya: "Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) ini melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka perselisihan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat hagi kaum yung beriman." (Q.S.Al-Nahl:64). Selanjutnya firman Allah SWT: Artinya: "Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperlihatkan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran". (Q.S. Shad: 29) Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Fadhil Al-Jamali menyatakan sebagai berikut: "Pada hakekatnya Al-Qur'an itu adalah merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. la pada umumnya adalah merupakan Kitab pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).
Begitu pula Al-Nadwi mempertegas dengan menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran umat Islam itu haruslah bersumberkan kepada aqidah Islamiyah. Menurut beliau lagi, sekiranya pendidikan umat Islam itu tidak didasarkan kepada aqidah yang bersumberkan kepada Al-Qur'an dan Al-hadits, maka pendidikan rtu bukanlah pendidikan Islam, tetapi adalah pendidikan asing.

2. Sunnah (Hadist)
Dasar yang kedua selain Al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah. Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam proses perubahan hidup sehari- hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah SWT. Artinya: "Di dalam diriRasuluttah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik..."(Q.S.Al-Ahzab:21). Nabi mengajarkan dan mempraktekan sikap dan amal baik kepada istri dan sahabatnya, dan seterusnya mereka mempraktekkan pula seperti yang dipraktek-kan nabi dan mengajarkan pula kepada orang lain. Perkataan atau perbuatan dan ketetapan nabi inilah yang disebut hadits atau sunnah. Konsepsi dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1). Disampaikan sebagai rahmatan lil'alamin (Q.S. Al-Anbiya': 107)
2). Disampaikan secara universal (Q.S.)
3). Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (Q.S. Al-Hajr: 9)
4). Kehadiran, nabi sebagai evaluator atau segala aktifitas pendidikan (Q.S. Al-.. Syura: 48)
5). Perilaku nabi sebagai figur identifikasi (uswah hasanah) bagi umatnya (Q.S.. Al-Ahzab:21).
Adanya dasar yang kokoh ini terutama Al-Qur'an dan Sunnah, karena keabsahan dasar ini sebagai pedoman hidup dan kehidupan sudah mendapat i jaminan Allah SWT dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT: Artinya: "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah : 2) Sabda Rasulullah SAW: Artinya: "Kutinggalkan kepadamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akt tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepac keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. (H.R. Bukhari d; Muslim). Prinsip menjadikan Al-Qur'an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran keyakinan semata. Lebih dari kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah. Dengan demikian barangkali wajar jika kebenaran itu kita kembalikan kepada pembuktian kebenaran pernyataan Allah SWT dala Al-Qur'an. Firman Allah SWT: Artinya: "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan kepadanya petunjuk ba( mereka bertaqwa". (Q.S. Al-Baqarah : 2). Kebenaran yang dikemukakan-Nya mengandung kebenaran yar hakiki, bukan kebenaran spekulatif dan relatif. Hal ini sesuai dengan jamim Allah SWT. Firman Allah SWT: Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkun Al-Qur'an dan sesungguhn) Kami tetap memeliharanya". (Q.S. Al-Hajr: 9) Al-Qur'an dan Sunnah disebut sebagai dasar pokok.

3. Perkataan, Perbuatan dan Sikap para Sahabat

Pada masa Khulafa al-Rasydin sumber pendidikan dalam Islam suda mengalami perkembangan. Selain Al-Qur'an dan Sunnah juga perkataan sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat diperpegangi karena Allah sendiri di dalam Al-Qur'an yang memberikan pernyataan. Firman Allah: Artinya: "Orang-orangyang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantar orang- orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikutiI mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal didalamnya. Itulah f kemenangan yang besar", (Q.S. Al-Taubah : 100) Firman Allah SWT: Artinya: "Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar." (Q.S. Al-Taubah : 119) didalam sejarah mencatat perkataan sikap sahabat-sahaba tersebut yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam Islam di antaranya adalah:
a. Setelah Abu Bakar dibai'at menjadi khalifah ia mengucapkan pidato sebagai berikut: "Hai manusia, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal; aku bukan orang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tetapi jika aku berbuat salah, betulkanlah aku, orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah sehingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah aku pandang kuat sehingga aku dapat mengembalikan haknya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, kamu tak perlu mentaati aku. Menurut pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung arti bahwa manusia harus mempunyai prinsip yang sama di hadapan Khaliknya. Selama baik dan lurus ia harus diikuti, tetapi sebaliknya (kalau ia tidak lurus dan baik) manusia harus bertanggungjawab membetulkannya.
b. Umar bin Khatab terkenal dengan sifatnya yang jujur, adil, cakap, berjiwa demokrasi yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar ini disaksikan dan dirasakan sendiri oleh masyarakat pada waktu itu. Sifat-sifat seperti ini sangat perlu dimiliki oleh seorang pendidik, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pedagogis dan teladan yang baik yang harus ditiru. Muhammad Salih Samak menyatakan bahwa contoh teladan yang baik dan cara guru memperbaiki pelajarannya, serta kepercayaan yang penuh kepada tugas, kerja, akhlak dan agama adalah kesan yang baik untuk sampai kepada matalamat pendidikan agama.
c. Usaha-usaha para sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidikanjslam sampai sekarang di antaranya: 1) Abu Bakar melakukan modifikasi Al-Qur'an; 2) Umar Bin Khatab sebagai bapak reaktuator terhadap ajaran Islam yanj dapat dijadikan sebagai prinsip strategi pendidikan; 3) Usman Bin Affan sebagai bapak pemersatu sistematika penuhsan ilmial melalui upaya mempersatukan sistematika penuhsan Al-Qur'an; 4) Ali Bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep pendidikan.
Menurut Fazlur Rahman, para sahabat Nabi memiliki karakteristik yang berbeda dalama kebanyakan orang. Karekteristik yang berbeda itu di antaranya:
a. Sunnah yang dilakukan para sahabat tidak terpisah dari sunnah Nabi; b. Kandungan yang khusus yang aktual sunnah sahabat sebagian besar produl sendiri;
c. Unsur kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang mengalam kristalisasi menjadi ijma' berdasarkan petanjuk Nabi terhadap sesuatu yan| bersifat spesifik;
d. Praktek amah'ah sahabat identik dengan ijma'.

4. Ijtihad
Setelah jatuhnya kekhahfahan Ali Bin Abi Thalib berakhir masa pemerin tahan Khulafaur Rasyidun dan digantikan oleh Dinasti Ummaiyah. Pada mas ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan ke Spanyol. Perluasa daerah kekuasaan ini diikuti oleh ulama dan guru atau pendidik. Akibatny terjadi pula perluasanjusat-pimrpendidikan yang tersehar di kota-kota besar seperti:
(1) Makkah dan Madinah (Hijaz); (2) Basrah dan Kuffah (Iran); (3) Damsyik dan Palestina; (4) Fustat (Mesir). Dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan di atas, berarti telah terjadi perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai akibat interaksi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Ini berarti perlunya pemikiran yang mendalam tentang cara mengatasi permasalahannya yang timbul. Pemikiran yang seperti itu disebut "ijtihad".
Agaknya Al-Auza'i, Abu Hanafiah, dan Imam Malik sebagai imam-imam mujtahid yang telah ada pada waktu itu, merasa perlu untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat interaksi-interaksi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berbeda tersebut dengan menggunakan ijtihad. Dengan demikian ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan, karena sesuai dengan hikmah Islam.
Karena Al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung arti umum, maka para ahli hukum dalam Islam menggunakan "ijtihad" untuk menetapkan hukum tersebut. Ijtihad inii terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi SAW. Dan beranjaknya Islam mulai keluar dari tanah Arab, karena situasi dan kondisinya banyak berbeda dengan di tanah Arab. Majelis muzakarah Al-Azhar menetapkan bahwa ijtihad adalah jalan yang dilalui dengan semua daya dengan kesungguhan yang diwujudkan oleh akal melalui ijma', qiyas, istihsan dengan zhan (mendekati keyakinan) untuk mengistinbathkan hukum dari pada dalil-dalil Al- Qur'an dan Al-Sunnah untuk menentukan batas yang ditentukan.
Para fuqaha' mengartikan ijtihad dengan berpikir menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmu syariat Islam dalam hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur'an dan Hadits, penetapan hukum dilakukan dengan ijtihad. Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha'- fuqaha' Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur'an d hadist dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan dengan ijm qiyas, istihsan, mashalih murshalah dan lain-lain.
Ijtihad dalam penggunaannya dapat meliputi seluruh aspek ajaran Islai termasuk juga aspek pendidikan. Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Isla yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja. Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rincian itu merupakan contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak diturunkan ajar; Islam kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, Islam telah tumbuh d; berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kond sosial yang tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubah; situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.
Dengan demikian untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam itu memai sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Al-Qur'an dan Hadits belu menjamin tujuan pendidikan Islam akan tercapai. Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan Islam dipandai sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan pa< masa yang akan datang, sehingga pendidikan Islam tidak melegitimasi stati quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap khazanah pemikin para orientalis dan sekuleris. Allah sangat menghargai kesungguhan para mujtah dalam berijtihad. Sabda Rasulullah SAW: "Apabila hakim telah menetapkan hukum, kemudian dia berijtihb dan ijtihadnya itu benar, maka baginyaduapahala, akan tetapiapabi* ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka baginya satupahal (H.R. Bukhari Mushm dan Amr bin Ash) Al-Qur'an dan Hadits disebut dasar pokok, sedangkan sikap dan perbuatan Para sahabat serta ijtihad disebut sebagai dasar tambahan. Dasar tambahan dapat dipakai selama tidak bertentangan dengan dasar pokok.

C. DASAR OPERASIONAL PENDIDIKAN ISLAM
Dasar operasional merupakan dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Langgulung, dasar operasional dapat dibagi kepada enam macam.



1. Dasar Historis
Dasar yang memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, berupa undang-undang dan peraturan-peraturannya maupun berupa tradisi dan ketetapannya.
2. Dasar Sosiologis
Dasar berupa kerangka budaya dimana pendidikannya itu bertolak dan bergerak, seperti memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya.
3. Dasar Ekonomis
Dasar yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi, persiapan yang mengatur sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelanjaan.
4. Dasar Politik dan Administrasi
Dasar yang memberi bingkai ideologi (akidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang didta-citakan dan rencana yang telah dibuat.
5. Dasar Psikologis
Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, metode yang terbaik dalam praktek, pengukuran dan penilaian bimbingan dan penyuluhan.
6. Dasar Filosofis
Dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. PENDAHULUAN
Pandangan "objective oriented" (berorientasi pada tujuan) mengajarkan bahwa tugas guru yang sesungguhnya bukanlah mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada anak didiknya saja, akan tetapi juga merealisir atau mencapai tujuan pendidikan. Istilah tujuan atau "sasaran" atau "maksud", dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayat atau ahdaftim maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah "tujuan" dinyatakan dengan "goal atau purpose atau objective atau aim. Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.
Tujuan itu sendiri, menurtit Zakiah Daradjat, adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan menurut H.M. Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada yang kuasa (Allah) yang terletak suatu iarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Upaya untuk memformulasi suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Maka tidaklah mengherankan jika terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.





B. TAHAP-TAHAP TUJUAN
Abu Ahmadi mengatakan bahwa tahap-tahap tujuan pendidikan Islam meliputi:
1) Tujuan tertingi/terakhir
2) Tujuan Umum
3) Tujuan khusus
4) Tujuan Sementara

1. Tujuan Tertinggi/Terakhir
Tujuan mrbersjfatmutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan. Dalam tujuan pendidikan Islam, tujuan tertinggi atau terakhir ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia, dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu:
a. Menjadi hamba Allah
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadat kepada Allah. Dalam hal ini pendidikan harus memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya sedemikian rupa, sehingga semuaperibadatannya dilakukan dengan penuh penghayatan dan kekhusu'an terhadap-Nya, melakukan seremoni ibadah dan tunduk senantiasa pada syari'ah dan petunjuk Allah. Tujuan hidup yang dijadikan tujuan pendidikan itu diambilkan dari Al Quran. Firman Allah SWT: "DanAku (Allah) tidak menjadikanjin dan manusia melainkan untui menyembah-Ku". (Q.S. Al-Zhariat:56) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifahfi al-Ardhjjpmg mamp memakmurkan bumi dan melestarikamyadarf lebih jauhlagi, mewujudka rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebag; konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup. Firman Allah SWT: Artinya : "Ingatkanlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat Sesungguhnya Aku bendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (Q.S. 2 : 20) Firman Allah SWT: Artinya: "Dialah yang menjadikan kamu kbalifah-khalifah di muka bum Barangsiapayang kaflr, maka (akibat) kekaflrannya menimpa dirinya Firman Allah SWT: Artinya:"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahm bagi semesta alam". (Q.S. Al-Anbiya' : 107)

c. Untuk memperoleh kesejahteraan,kebahagiaan hidup di dunia akhirat, baik individu maupun masyarakat. Selanjutnya Firman Allah SWT: Artinya:"Dan carilah apayang dianugerahkan AUah kepadamu (kebahagiaai kampung akhirat, danjanganlah kamu melupakan kebahagiaan da (kenikmatan) duniawi". (Q.S. Al-Qashash : 77) Firman Allah SWT: Artinya: "Dan di antara mereka ada orangyang mendo 'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan dunia dan kebaikan akhirat dan peliharalah kami dart siksa neraka. Mereka itulah orang-orang yang dapat bahagia dari apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepatperhitungannya". (Q.S. Al-Baqarah:21) Sabda Rasulullah SAW: Artinya: "Bekerjalah untuk urusan dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk urusan akhirat seolah-olah engkau akan mati esok hari", (Al-Hadits) Ketiga tujuan tertinggi tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan pencapaian tujuan yang lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai secara bersama melalui proses pencapaian yang sama dan seimbang.
Ketiga tujuan tertinggi tersebut, berdasarkan pengalaman sejarah hidup manusia dan dalam pengalaman aktifitas pendidikan dari masa ke masa, belum pernah tercapai seluruhnya, baik secara individu maupun sosial. Apalagi yang disebut kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua-duanya tidak mungkin diketahui tingkat pencapaiannya secara empirik. Namun demikian, perlu ditegaskan sekah' lagi, tujuan tertinggi tersebut diyakini sebagai sesuatu yang ideal dan dapat memotivasi usaha pendidikan dan bahkan dapat menjadikan aktifitas pendidikan lebih bermakna.

2. Tujuan Umum
Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan pendekatan filosofik, tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat jadikan ukuran karena menyangkut perubahan prinsip dikatakan umum karena berlaku bagi siapa saja tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan menyangkut diri peserta didik secara total. Pendidikan adalah upaya untuk pengembangan potensi atau sumber daya insani berarti telah mampu merealisasikan din (self realisation), menampilkan sebagai pribadi vang utuh (pribadi muslim). Proses pencapaian realisasi tersebut dalam istilah psikologi disebut becoming, yakni proses menjadil diri dengan keutuhan pribadinya. Sedangkan untuk sampai pada pribadi diperlukan proses perkembangan tahap demi tahap yang disebut pro development. Tercapainya self realisation yang utuh itu merupakan tujuan umum pendidikan Islam yang proses pencapaiannya melalui berbagai lingkungan lembaga pendidikan, baik pendidikan keluarga, sekolah atau masyarakat secara formal, non formal maupun informal.
Salah satu formalasi dari realisasi diri sebagai tujuan pendidikan yang bers umum ialah rumusan yang disarankan oleh Konferensi Internasional Perta tentang pendidikan Islam di Mekah 8 April 1977 yang menyatakan bah pendidikan harus diarahkan untuk mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, jiwa rasio perasaan, dan penghayatan lahir. Karena itu pendidikan harus menyiapi pertumbuhan manusia dalam segi spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didaskan oleh motivasi mencapaii kebaikan dan perfeksi. Tujuan akhir pendidit muslim itu terletak pada (aktifitas) merealisasikan pengabdian kemanusk seluruhnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa baik tujuan tertinggi/terakhir maupun tujuan umum, dalam praktek pendidikan boleh dikatakan tidak pernah tercapai sepenuhnya. Dengan perkataan lain, untuk mencapai tujuan tertinggi/terak itu diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir, sedangkan tujuan umum "realisasi diri" adalah becoming, selama hayat proses pencapaiannya telah berlangsung. Dari sini dalam Islam dikenal konsep pendidikan sepanjang hayat, sesuai dengan hadits Nabi: "Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke Hang lahat Di samping itu dalam pendidikan Islam berlaku pula konsep pendidik manusia seutuhnya. Dengan demikian bukan apologi bila dikatakan bahwa kondisi tersebut mendahului konsep yang dewasa ini populer dengan sebutan long life education.

3. Tujuan Khusus
Tujuan khusus ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggj/ terakhir dan tujuan umum (pendidikan Islam), Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuatu dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat di jelaskan dasarkan pada:
a. Kultur dan cita-cita suatu bangsa
Setiap bangsa pada umumnya memih'ki tradisi dan budaya sendiri-sendirij Perbedaan antara berbagai bangsa inilah yang memungkinkan sekali adanyal perbedaan cita-citanya. Sehingga terjadi pula perbedaan dalam merumuskan tujuan yang dikehendakinya di bidang pendidikan.

b. Minat, Bakat, dan Kesanggupan Subyek Didik
Islam mengakui perbedaan individu dalam hal minat, bakat, dan kemampuan. Hal itu bisa dilihat dari keterangan-keterangan Al-Qur’an Al-Karim. Firman Allah SWT: Artinya:
"Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih berjalannya".Untuk mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan, kesesuaian tujuan khusus dengan minat, bakat, dan kemampuan subyek didik yang menentukan.
c. Tuntuan Situasi,Kondisi pada Kurun Waktu Tertentu
Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertimbangkan faktor situasi
dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka pendidikan akan memiliki daya guna sebagaimana minat dan perhatian subyek didik pertimbangan ini sangat penting terutama bagi perencanaan pendidikan. Mereka harus mengantisipasi masa depan.

4 Tujuan Sementara
Menurut ZakiahDaradjat, tujuan sementara itu merupakan tujujn yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman Jertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Lebih lanjut dikatakan bahwa, tujuan operasional dalam bentuk tujuan pembelajaran yang dikembangkan menjadi tujuan pembelajaran umum dan khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dengan sifat yang agak berbeda. Dalam tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola taqwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah merupakan suatu lingkaran yang pada tingkat paling rendah mungkin merupakan suatu lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkatan pendidikannya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak dari tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkarannya sudah harus kelihatan. Bentuk lingkaran inilah yang menggambarkan insan kamil itu. Di sinilah barangkali perbedaan yang mendasar tujuan dengan pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan lainnya.
C. BEBERAPA RUMUSAN TUJUAN MENURUT AHLI DIDIK ISLAM

1. Ibnu Khaldun menyatakan: Bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai^dua tujuan, yaitu:
(1) Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan keatasnya.
(2) lujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.
2. Selanjutnya Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurna insani yang tujuannya kebahagiaan dunia akhirat.
3. Saleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid, mengatakan, bahwa tujua pendidikan Islam, adalah: untuk mendapatkan keridhaan Allah da mengusahakan penghidupan.
4. Menurut Mustafa Amin, bahwa tujuan umum pendidikan Islam, ada mempersiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akhirat.
5. Al-Abrasyi, merumuskan tujuan umum pendidikan Islam ke dalam pokok, yaitu:
(1) Pembentukan akhlak mulia (al-fadhilat);
(2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat;
(3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi per faatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat memba manusia kepada kesempurnaan;
(4) Menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan unti mengetahui serta memih'ki kesanggupan untuk mengkaji ilmu seke J sebagai ilmu;
(5) Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ii mudah mencari rezeki.
jAbdullah Fayat, MEngatakan bahwa pendidikan Islam mengarahkan pada dua tujuan:
(1) Persiapan untuk hidup akhirat, dan
(2) Membentuk perorangan dengan ihnu pengetahuan dan keterampil untuk menunjang kesuksesannya hidup di dunia.
Kalau kita perhatikan rumusan tujuan yang telah digariskan oleh para ; didik Islam tersebut maupun yang tertera dalam Al-Qur'an dan Hadits terny bahwa tujuan pendidikan Islam tersebut bukanlah sekedar mencari kesenanf duniawi atau materi semata, akan tetapi menyangkut masalah keduniawian i keukhrawian secara berimbang. Sikap seorang muslim terhadap kehidui duniawi adalah sikap dart seorang yang memandang bukan tujuan terakhir.
Tuiuan utama, puncak kebahagiaan dan kemajuan, ia menganggapnya hanyalah sebagai tahap penyeberangan yang harus dilalui dan sebagai jalan untuk mencapai keberuntungan terbesar abadi serta kenikmatan yang disenangi. Hasan Langgulung menyatakan bahwa kebahagiaan di dunia berlaku dalam bentuk terhindar dari segala yang mengacau dan mencelakakan hidup seperti penganiayaan, ketidak adilan, bala bencana, siksaan, huru hara, kezah'man, pemerasan dan segala macam penyakit dan bahaya. Kebahagiaan jenis ini diberikan kepada manusia yang beriman dan beramal shaleh. Sedangkan kebahagiaan akhirat berlaku dalam bentuk terhindar dari siksaan, baik di dalam kubur atau di akhirat sebelum dan sesudah menjalani pengadilan dan seterusnya untuk masuk surga. Dua sasaran yang akan dicapai oleh pendidikan Islam mengandung implikasi abadi dan positif. Abadi, karena tujuan akhir tersebut menembus dimensi ruang dan waktu, yaitu keselamatan di dua tempat dalam bentuk kesejahteraan yang universal tak terbatas oleh ruang lingkup geografis maupun isme-isme tertentu. Sedangkan positif karena tujuan yang akan dicapai itu senantiasa membimbing perkembangan potensi bawaan manusia sebagai makhluk jasmaniah dan rohaniah ciptaan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT Artinya: "Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi...". (Q.S. Al-Syuara': 77). Sabda Rasulullah SAW Artinya: "Bukan merupakan orang yang baik di antaramu, siapa yang meninggalkan dunia untuk keperluan akhiratnya dan bukan pula meninggalkan akhirat untuk keperluan keduniaan. Tetapi orang terbaik di antaramu ialah siapa yang mengambil dunia dan akhirat". (H.R. lurmuzi).
Kemungkinan-kemungkinan yang demikian jauh berbeda dengan tujuan yang akan dicapai oleh tujuan pendidikan hasil rancangan di dalam suatu negara. Kekurangan dari tujuan yang dilandasi oleh falsafah pendidikkan yang demikian itu menurut Langgulung mengarah kepada tujuan kebendaan, seperti yang terdapat di dalam tujuan pendidikan di negara kapitalis dan komunis. Implikasinya tujuan pendidikan di Amerika adalah untuk menciptakan warga negara yang pragmatis, dinegara komunis menciptakan warga negara Komunis marxis dan begitulah seterusnya. Kedua falsafah yang kita sebutkan di atas, sekah'pun nampaknya berbeda tapi serupa, yaitu bahwa kebahagian manusia hanya dapat diciptakan dengan memperbaiki keadaan ekonominya (materi). Golongan kapitah'sme beranggapan bahwa perbaikan ekonomi (materi) itu hanya dapat dalam suasana persaingan bebas di mana akan membawa kemajuan dan kemakmuran negara dan selanjutnya kemakmuran masyarakat termasuk individu yang ada di dalamnya. Sebaliknya golongan komunis beranggapan bahwa untuk memperbaiki ekonomi golongan terbesar rakyat, maka sumber-sumber produksi mestilah dipegang rakyat terbesar itu, yang tentunya tidak mungkin menjadi sebagian kecil saja dari golongan terbesar yang menamakan dirinya diktator proletariat, dengan demikian kekayaan dan kemakmuran dapat dinikmati oleh sebagian terbesar dari rakyat. Kedua falsafah ini nampaknya berbeda tetapi serupa dalam hasil akhirnya yang terlihat kebahagiaan manusia ini hanya dapat diciptakan bila keadaan materinya sudah cukup, atau dengan kata lain tujuan pendidikan di bawah Undungan falsafah itu adalah tujuan kebendaan.
Menurut Nurcholis Madjid, "Comunist Marxist" adalah penganut paham rasionalisme, sedangkan rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio sebagaimana dianut kaum komunis, maka seorang rasionalis adalah orang yang menggunakan akal pikiran dalam menemukan kebenaran. Akan tetapi kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insaninya, yang karena itu merupakan sifat relatif bagi manusia. Kebenaran yang mutlak yang hanya dapat diketahui manusia melalui sesuatu yang lain lebih tinggi daripada rasio adalah wahyu, melahirkan agama-agama Tuhan melalui nabi-nabi.
Begitu pula dalam falsafah orang Eropa (Yunani) yang mendasarkan pendapatnya pada pendapat bahwa kesempurnaan masyarakat harmonis yang penuh keindahan serta keadilan bila dicapai dengan intelegensi, tanpa memerlukan bantuan kekuatan supernatural lain. Paham rasionalisme, materialisme, pragmatisme dalam modernisasi Barat berjalan dengan proses penyisihan terhadap dasar dan nilai-nilai agama akhirnya melahirkan sekularisme. Sekularisme adalah istilah yang dipakai untuk mengatakan suatu proses yang berlaku demikian rupa, sehingga orang, golongan atau masyarakat yang bersangkutan semakin berhaluan duniawi, artinya semakin beipaling dari agama, atau semakin berkurang memerlukan nilai-nilai atau norma yang dianggap kekal (agama).
Dengan kata lain sekularisme adalah suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah duniawi, masalah duniawi harus dengan cara lain, yang tidak datang dari Tuhan. Jadi sekularisme adalah faham tidak bertuhan. Tujuan pendidikan seperti disebutkan di atas jelas mengarah kepada tujuan kebendaan dan keduniaan semata; yang berbeda dengan tujuan pendidikan Islam yang menekan keseimbangan antara material dan spritual serta duniawi dan ukhrawi.

D. ASPEK-ASPEK TUJUAN
Aspek tujuan pendidikan Islam itu meliputi empat hal, yaitu: (1) tujuan jasmaniah (ahdafal-jismiyyah), (2) tujuan r'ohaniah (ahdaf al-ruhiyyah), (3) (ujuan akal (ahdaf al-aqliyyah), dan (4) tujuan sosial (ahdaf al-ijtima'iyyah). Masing-masing aspek tujuan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

1. Tujuan Jasmaniah (Ahdaf al-Jismiyyab)
Tujuan Pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang bagus di samping rohani yang teguh. Dalam Hadits Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Orang mukmin yang kuat itu lebil) baik dan lebihjisayangi oleh Allah dai pada orang mukminyang lemah".Kata "kuat" dalam hadits di atas dapat diartikan dengan kuat secara iasm sesuai dengan firman Allah: Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan anugerahinya ilmuyang luas dan tubuhyang kuat perkasa". Dalam ayat di atas dikisahkan bahwa nabi dipilih oleh Allah menjadi karena ia pandai dan kuat tubuhnya untuk melawan talut yang terkenal bebadan besar seperti raksasa, namun Talut dapat mengalahkannya dengan perantaraan Daud yang melemparkanya dengan pertolongan Ali dapat merobohkan tubuh Djalut sehingga tewas. Jadi tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk yang sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi.

2. Tujuan Rohaniah (Ahdaf al-Ruhiyyah)
Kalau kita perhatikan, tujuan ini dikaitkan dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk dan patuh kepada nilai-nilai yang diajarkan-Nya dengan mengikuti keteladan Rasulullah saw, inilah tujuan rohaniah pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan rohaniah diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia, yang ini oleh para pendidik modern Barat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan yang oleh kebanyakan pemikir pendidikan Islam tidak disetujui istilah itu, karena akan memberikan kesan akan adanya tujuan pendidikan yang non Islam. Muhammad Qutb mengatakan bahwa tujuan pendidikan ruhiyyah mengandung pengertian "ruh" yang merupakan mata rantai pokok yang menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan pendidikan Islam harus bertujuan untuk membimbing manusia sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap berada di dalam hubungan dengan-Nya.

3. Tujuan Akal (Ahdaf al-Aqliyyah)
Selain tujuan jasmaniah dan tujuan rohaniah, pendidikan Islam juga memperhatikan tujuan akal. Aspek tujuan ini bertumpu gada pengembangan Ifltplggensia (kecerdasan) jang berada dalam otak. Sehingga mampu memahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di jagad raya ini. Seluruh alam ini bagaikan sebuah buku besar yang harus dijadikan obyek pengamatan dan renungan pikiran manusia sehingga daripadanya ia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan makin mendalam. Firman Allah yang mendorong pendidikan akal banyak terdapat di dalam Al Qur'an tak kurang dari 300 kali. Kemudian melalaui proses observasi dengan panca indera, manusia dapat dididik untuk menggunakan akal kecerdasannya untuk meneliti, menganah'sis keajaiban ciptaan Allah di alam semesta yang berisi khazanah iknu pengetahuan yang menjadi bahan pokok pemikiran yang analitis untuk dikembangkan menjadi ilmu-ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam bentuk-bentuk teknologi yang semakin canggih. Proses intelektuahsasi pendidikan Islam terhadap sasaran pendidikannya berbeda dengan proses yang sama yang dilakukan oleh pendidikan non Islami, misalnya pendidikan sekuler di Barat. Ciri khas pendidikan yang dilaksanakan oleh pendidikan Islam adalah tetap menanamkan (menginternalisasikan) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam seperti keimahan, akhlak dan ubudiyah serta mu'amalah ke dalam pribadi manusia didik.

4. TujuanSosial (Ahdaf al-Ijjtima'iyah)
Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yangt utuh dari roh, Jtubuh^danjkaLDi mana identitas individu di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan sosial ini penting artinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi seyogyanya mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang. Yang karenanya tidak niungkin manusia menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di da masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu i sama sebagai anggota masyarakat. Kesesuaiannya dengan cita-cita sosial diper dari individu-individu. Maka persaudaraan dianggap sebagai salah satu konsep sosial dalam Islam yang menghendaki setiap individu memperluli individu lainnya dengan cara-cara tertentu.
Keserasian antara individu dan masyarakat tidak mempunyai sifat kontr antara tujuan sosial dan tujuan individual. "Aku" adalah "kami", merup pernyataan yang tidak boleh berarti kehilangan "aku"-nya. Pendidikan men beratkan perkembangan karakter-karakter yang unik, agar manusia ma beradaptasi dengan standart masyarakat bersama-sama dengan cita-cita; ada padanya. Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan karakteris pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.
Oleh karena itu aspek sosial haruslah mendapatkan perhatian dengan pot yang cukup di dalam pendidikan Islam, agar peserta didik mampu dan pand menempatkan diri pada lingkungannya, tolong-menolong dan saling memba dengan masyarakatnya, sekaligus menyadari bahwa dirinya tidak mungkin hidu sendiri tanpa bantuan dari yang lain. Yang dengan demikian, seorang musli atau peserta didik, akan dapat diterima oleh masyarakatnya, dan ia bisa ten dan hormanis hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam pendidikan Islam baik proses maupun hasil belajar selalu inter dengan keislaman; keislaman melandasi aktifitas belajar, menafasi peruba yang terjadi serta menjiwai aktivitas berikutnya. Secara skematis belajar kerangka pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai berikut:


Keseluruhan proses belajar berpegang pada prinsip-prinsip Al Qur'an dan Sunnah serta terbuka untuk unsur-unsur luar secara adaptif yang ditilik dari persepsi keislaman. Perubahan ketiga domain yang dikehendaki Islam adalah perubahan yang dapat menjembatani individu dengan masyarakat dan dengan Khalik (hablmin Allah wa hablmin al-Nas) tujuan akhir berupa pembentukan orientasi secara menyeluruh sesuai dengan kehendak Hihan (bermaksud ibadah) dan konsisten dengan kehalifannya.
Keluaran (out put) secara utuh harus mencerminkan adanya Pola orientasi ibadah.

Cari Info lainnya di sini :

Gabung Yuk ...

Related Post :

Technology in Education from MagPortal.com