Cara Website Pemula

Custom Search

Pendidikan Tasawuf dan Sastra

Oleh Agus Asrul Sani

Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilih sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi sejak awal. Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan dengan makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdot-anekdot, kisah perumpamaan atau alegori dan puisi. Walaupun sastra, khususnya puisi, sangat mempengaruhi corak kegiatan intelektual para sufi, tetapi kebanyakan dari mereka menulis tanpa niat menjadi sastrawan atau penyair. Mereka menulis berlandaskan alasan-alasan keagamaan dan keruhanian, yaitu menyampaikan hikmah dan mendapat berkat (barakah).
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqa’iq) ajaran islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas keindahan.
Aspek ketuhanan sebagai keindahan inilah yang dipandang sebagai aspek mistikal atau dimensi esoterik dari Islam, dan juga dipandang sebagai aspek Islam yang paling indah. Nyata sekali bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan, tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993, xiv-v) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah ‘tasawuf puitik’. Tasawuf puitik merupakan fenomena universal. Ia bukan hanya fenomena lokal, tidak terbatas hanya dalam lingkungan tradisi Muslim Arab atau Parsi, tetapi juga muncul dalam tradisi masyarakat lain seperti Turki, Urdu, Bengali, Cina, Melayu dan Jawa. Tasawuf puitik mempengaruhi gerakan-gerakan sastra modern di luar dunia Islam, di Timur maupun Barat.
Dari penjelasan di atas sedikit banyak telah tergambar latar belakang dan ciri-ciri lahir sastra sufistik, yang mana aspek isinya berupa gagasan dan pengalaman keruhanian yang hendak disampaikan para penulisnya. Sastra sufistik tidak terpisah dari tasawuf. Oleh sebab itu tidak mungkin membicarakan sastra sufistik tanpa membicarakan tasawuf. Tasawuf merupakan jalan keruhanian (suluk) yang ditempuh oleh para sufi dalam hasratnya mencapai kebenaran hakiki dari ajaran islam. Al-Hujwiri, meminjam pernyataan seorang syaikh sufi, menjelaskan, “Man shaffahu al-hubb fa huwa shaff, wa man shaffahu al-habib fa huwa shufi” yang artinya, “Ia yang disucikan oleh cinta, suci, dan ia yang tenggelam di dalam kekasih dan membuang segala yang lain ialah seorang sufi” (KM 34).
Di dalam penjelasan ini tampak bahwa cinta (mahabbah ataupun ‘isyq) dipandang sebagai peringkat keruhanian yang tinggi pada jalan tasawuf. para sufi sering menggambarkan cinta sebagai ‘anggur hidup’ yang menerbitkan kegairahan mistik dan dicapai melalui pengalaman intuitif tentang hakikat ketuhanan (Smith 1972, 3-4).inti tasawuf hanya satu yakni jalan keruhanian berasaskan tauhid.
Para peneliti modern menamakan tasawuf sebagai ‘ sufism’ (selanjutnya sufisme), artinya lebih kurang ialah ajaran dan pemikiran yang berlandaskan ilmu mengenai cara-cara mendekatkan diri kepada Tuhan yang diamalkan oleh kaum sufi. Di Barat tasawuf lebih dikenal dengan nama Islamic mysticism (selanjutnya mistisisme Islam ). Tasawuf yang sejati tidak ada kaitannya dengan amalan-amalan ilmu hitam seperti ilmu sihir, nujum dan okultisme.
Secara etimologi kata ‘mistik’ atau ‘mistic’ berasal dari bahasa Yunani myein, dan ada kaitannya dengan’mysteri’, serta bermakna ‘menutup mata ‘atau ‘terlindung didalam rahasia’.Menutup mata terhadap alam fenomena menyebabkan seorang sufi memiliki penglihatan ruhani yang terang dan hidup, dan dengan demikian dapat menyaksikan rahasia terdalam ( haqa’iq) ajaran agama. Haqa’iq bermakna ‘yang inti ‘,’yang hakiki’, yakni kenyataan atau hakikat ajaran agama, yang dalam Islam tiada lain kecuali tauhid.
Tasawuf yang sejati memang hanya membicarakan perkara-perkara haqa’iq dari agama. Sebagai jalan keruhanian tasawuf mengkhususkan pada syuhud, yakni penyaksian kalbu, walaupun tidak menafikan peranan penting akal dalam mencapai pengetahuan.








b.Pengertian Sufi
Sufi adalah dia yang menyakini adanya hakekat segala sesuatu, kesaksiannya adalah hakekat segala sesuatu itu kekal, sedang dunia ini merupakan persinggahan sementara. Dengan kata lain dunia yang dibatasi oleh ruang dan waktu ini merupakan alam fenomena atau kejadian yang tidak pernah tetap dan selalu berubah. Ia akan kita tinggalkan menuju dunia yang tetap dan kekal. Kesanalah para sufi berikhtiar pergi seawal mungkin.

c.Unsur Tasawuf
Secara hakiki tasawuf membicarakan tiga unsur: kodrat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan ruhani, yang hanya dengan cara demikian realisasi Tuhan menjadi mungkin dan yang hanya dengan cara itu manusia dapat mempersiapkan diri mencapai peringkat ahsan taqwim, menjadi alamat Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan sepenuhnya. Tujuan akhirnya ialah Tuhan, awal keberangkatannya ialah manusia dalam keadaannya yang rendah dan suluk dan tarekat lah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan…
Jelas bahwa tasawuf ialah jalan untuk merealisasikan tauhid. Orang yang sudah menyelami lubuk-lubuk terdalam tauhid sampai kepada maknanya yng terdalam, dan menyaksikan keesaan Yang Satu dengan mata kalbu, akan merasakan lezatnya keadaan fana dan indahnya pengalaman unio-mystica (penyatuan mistik). Sebagai balasannya Ia akan baqa, yaitu mengalami semacam kehidupan kekal di dalam Sang Wujud. Pencapaian lain yang penting di jalan tasawuf ialah kasyf dan ma’rifat. Kasyf ialah penglihatan hati yang terang atau tersingkapnya hijab yang menghalangi penglihatan seseorang terhadap Keesaan Tuhan. Makrifat ialah pengenalan terhadap keberadaan Tuhan dengan mata kalbu.
Tasawuf atau Mistisisme secara keseluruhan adalah filsafat hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana di dalam Hakekat Tertinggi serta pengetahuan tentangNya secara Intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagian ruhaniyah yang Hakekatnya sukar din ungkap dengan kata-kata, sebab karakternya bersifat Intuitif.
Melalui penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa tasawuf merupakan jalan keruhanian dalam Islam untuk mencapai makna hakiki tauhid. Sebagai jalan keruhanian ia dibina oleh para sufi berlandaskan tafsir dan penghayatan mereka terhadap ajaran keruhanian dan moral Al-qur’an dan Sunah.
Dengan mengetahui makna tasawuf, walaupun secara ringkas dan terbatas, maka sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik sebab kandungan sastra sufistik tiada lain ialah tasawuf. Seperti telah dikemukakan tasawuf membicarakan cara-cara bagaimana jiwa manusia menyempurnakan tali hubungannya dengan Tuhan dan peluang-peluang yang membolehkan jiwa dapat melakukan pendakian kealam ketuhanan.

d.Pengepresian Sufistik
Dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman keruhanian penuh makna dan menggunakan bahasa simbolik puisi, para sufi berharap supaya pembacanya memperoleh pula pencerahan dan hikmah sebagaimana yang telah mereka peroleh. Landasan Islam sastra sufistik juga sangat jelas. Ia mengekspresikan pengalaman estetik trensendental yang berhubungan erat dengan tauhid, penyaksian bahwa Tuhan itu satu, atau dengan perkataan lain Tuhan sajalah sebenarnya Yang Ada dan yang selain –Nya secara hakiki taida. Rujukan penghayatan mereka adalah Al-Qur’an dan Hadist. Karena sastra sufistik merukan ekspresi dari pengalaman kesufian, maka tidak mengherankan apabila sastra sufistik mengungkapkan renungan dan falsafah hidup yang bertuju meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia denga Kenyataan Tertinggi.
Di Jawa sastra sufistik disebut sastra suluk dan penamaan ini tepat sebab pada umumnya puisi-puisi sufistik memang mengungkapkan pendangan hidup orang yang mengamalkan ilmu suluk, nama lain untuk tasawuf (Pigeaud I 1967,85). Seperti suluk Wijil, Suluk Regol dan Suluk Kalipah Asmara. Amanat karya sufistik ialah mengajak pembacanya melakukan pendakian spiritual menuju Diri sejati da alam tinggi atau atas. Baharuddin Ahmad mengatakan,”Kesusteraan Sufi adalah tipe yang memanjangkan Hakekat Kebenaran dan Keindahan yang digambarkan secara rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan realitas alam rendah dan hubungannya dengan relitas sejati.
Bagaimana para sufi menerapkan fenomena kejadian dunia ini berlandaskan pengalaman dan perasaan yang dicapainya setelah menikmati kesadaran spiritual pada tingkat yang lebih tinggi mereka memandang bahwa fenomena kejadian di dunian ini tidak lain adalah refleksi atau bayangan diri kenyataan yang lebih tinggi, dan kenyataan ini bekerja dengan aktifnya di balik fenomena yang kelihatan sebagai poros keruhanian.
Sastra sufistik bukan sebuah genre. Penyair-penyair sufi menulis dalam pelbagai genre. Di antara genre yang dipilih oleh penyair-penyair sufi sebagai bentuk ekspresi ialah munajah, sajak dengan ungkapan-ungkapan bersahaja mirip doa, seperti yang ditulis oleh Rabi'ah al-Adawiyyah dan 'Abd Allah Anshari. Kemudian muncul genre yang disebut sajak-sajak syathiyat, penuturan yang menggunakan ungkapan simbolik dan padat, mengandung paradoks, seperti ucapan-ucapan Bayazid al-Bisthami, Manshur al-Hallaj, al-Niffari, Ahmad al-Ghazali, Ibn' Arabi dan Ruzbihan.

Al-Baqli. Kemudian para sufi juga menulis lirik, epik dan alegori. Genre yang paling terkenal ialah ghazzal,diwan (sajak-sajak pujian), matsnawi dan na'tiyah atau pujian khusus kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun para sufi menulis dalam pelbagai genre, pada umumnya karya-karya mereka merniliki ke utamaan yang sama,yaitu cinta atau 'isyq. Tema cinta selalu diungkap oleh penyair-penyair sufi sejak dulu hingga masa yang paling akhir, yakni sejak Rabi'ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 sampai Muhammad Iqbal pada abad ke-20. Oleh sebab itu tidak mungkin kita memahami karya para penyair sufi tanpa memahami gagasan mereka tentang cinta.
Cinta dipilih menjadi tema utama karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting di dalam ilmu tasawuf. Menurut para penyair sufi hanya cinta yang dapat membawa seorang salik berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi. Dalam sistem estetika sufi, cinta (mahabbah ataupun 'isyq) memiliki makna luas dan bersegi-segi. la bu¬kan cinta dalam arti yang lazim, tetapi merupakan suatu keadaan ruhani yang dapat membawa seseorang mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan ketuhanan. Cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq (ke-rinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Seperti dikatakan oleh Abu Nu'aym al-Isfahani di dalam Hilyatal-Awlya'.
Hati orang arif adalah sarang cinta ('isyq), dan hati pencinta berahi ('ashiq) adalah sarang rindu (syawq), dan hati orang rindu (syawqi) adalah sarang kedekatan (uns).Sebagian sufi menganggap cinta lebih tinggi peringkatnya dari ma'rifat, sebagian yang lain memandang bahwa peringkat cinta berada di bawah makrifat, dan yang lainnya lagi menganggap bahwa peringkat cinta dan makrifat sama. Menurut Imam al-Ghazali, cinta tidak mungkin ada tanpa makrifat, sebab orang hanya dapat mencintai apabila seseorang itu menge-nal atau mengetahui sesuatu yang dicintainya (Ibid, 130; Smith 1983,173). Ibn Sina memandang bahwa wujud tertinggi dari cinta ialah persatuan mistik (Sayyid Naimuddin 1968).
Rabi'ah berhasil menjadikan cinta sebagai media renungan terhadap Keindahan abadi Tuhan. Tokoh ini juga telah membawaperkembangan tasawuf ke tahap yang disebut oleh Nathan Soederblom sebagai Persoenlich-keitsmystik, yakni tasawuf berdasarkan hubungan pribadi antara Allah de¬ngan manusia sebagaimana diajarkan al-Qur'an (Schimmel 1982,15). Do'a Rabi'ah yang terkenal berkenaan dengan gagasannya tersebut ialah, "Tu-hanku, akan terbakarlah oleh api neraka kalbu-kalbu orangyangmencin-tai-Mu" (Abu al-Wafa al-Taftazani 1983,87).
Menurut Rabi'ah cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangan tersebut terlihat dalam do'anya yang terkenal dan kerap dijadikan rujukan oleh ahli-ahli tasawuf.


B.Kesimpulan
Di sekitar cinta, makrifat, persatuan mistik, tauhid dan tema-tema kesufian lain yang sesuai dengan kaidah keislaman, sebagaimana tersimpul dalam citra-citra simbolik, kias dan tamsil puisi-puisi Hamzah Fansuri contohnya.
Metode atau kaedah yang digunakan ialah ta'wil, suatu bentuk hermeneutika keruhanian Islam. Ta'wil pada mulanya berkembang sebagai kaidah ilmu tafsir yang mengkhususkan kajian terhadap ayat-ayat mutasyabibat, yaitu ayat-ayat tamsil atau metaforikal al-Qur'an. Sufi-sufi terkemuka seperti Imam al-Ghazali, Ibn al-'Arabi dan Jami menggunakannya pula untuk menelaah pesan keruhanian yang tersembunyi di dalam puisi-puisi penyair sufi. Ta'wil artinya 'kembali kepada asal atau awal', yaitu awal atau asal makna dari teks, makna yang hendak diturunkan oleh pengarangnya ke
dalam teks yang ditulisnya. Jadi ia merupakan upaya untuk mencapai mak¬na yang menyerupai makna asal.
Seperti hermeneutika pada umumnya ta'wil terutama berupaya me¬nelaah makna-makna tersembunyi dan samar dari teks, dan seorang pena'wil mesti berupaya pula menghilangkan kesamaran tersebut, serta berusaha memberi pemahaman dan pencerahan kepada si penafsir dan pembaca teks. Di dalam hal puisi penyair sufi, makna yang dimaksudkan ialah pesan keruhaniannya yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. mengungkap pesan keruhanian puisi sufistik Syaikh Hamzah Fansuri, yang tersimpul dan tersembunyi dalam pelbagai citra simbolik atau tamsil. Lebih lanjut mengenai kaedah ini akan dibicarakan secara terperinci di dalam bab HI yang membicarakan estetika sufi, karena ta'wil memang tidak dapat dipisahkan dari estetika sufi dan kerja sastra mereka.
Dapat ditambahkan di sini bahwa sebelum buku ini ditulis belum ada kajian khusus dan mendalam mengenai estetika sufistik, terutama yang ber¬kaitan dengan penciptaan puisi, di dalam bahasa Melayu-Nusantara. Kajian yang ada kebanyakan lebih mirip teori umum tanpa merujuk kepada pendekatan hermeneutika keruhanian yang mendasar. Selain itu juga belum banyak kajian mengenai pengaruh gagasan dan pemikiran sufi terhadap penciptaan sastra di negeri ini dilakukan, khususnya gagasan Syaikh Hamzah Fansuri terhadap penyair-penyair Melayu klasik dan modern.
Tema dasar sastra sufistik ialah 'cinta ilahi' ('isyq). Gagasan mengenai 'isyq ini menduduki tempat utama di dalam pemikiran para sufi sejak awal perkembangan tasawuf sampai masa yang paling akhir. Di antara para sufi yang membahas 'isyq di dalam kaitannya dengan estetika dan puisi, ialah Imam al-Ghazali, Ibn' Arabi, Farid al-Din al-'Aththar, Ruzbihan al-Baqli, Jalal al-Din al-Rumi, Fakhr al-Din al-'Iraqi dan' Abd al-Rahman al-Jami. Gagasan ahli-ahli sufi ini akan dijadikan landasan teoretis dalam ka¬jian ini. Selain gagasan dari tokoh-tokoh klasik ini akan dikemukakan juga pandangan para sarjana mutakhir seperti Titus Burckhard, Evelyn Underbill, Annemarie Schimmel, Seyyed Hossein Nasr, SyedM. Naquib al-Attas, Braginsky dan lain-lain.

Cari Info lainnya di sini :

Gabung Yuk ...

Related Post :

Technology in Education from MagPortal.com