Cara Website Pemula

Custom Search

Akal dan Wahyu

Oleh Agus Asrul Sani

Islam didasarkan kepada kitab wahyu, Qur’an. Apa yang dimaksud dengan wahyu dan apa arti kata Qur’an Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang berarti suara, bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi.' Kata Qur'an, bentuk participle (fi’l al-madi) dari kata qara’a, ‘membaca’. Filologis-filologis orientalis mengusulkan bahwa kata qur'an memiliki asal-usul Syria atau Hebrew, tetapi pengamatan ini tidak memodifikasi pengertian yang dituntut oleh konteks qur’anik itu sendiri. 2 Qur’an memiliki nama-nama lain seperti al-kitab (‘Kitab’), al-dzikir (‘peringatan’), al-furqan (‘pembedaan’ atau bukti yang membedakan).
Sewaktu saya masih belajar di gintung, ucapan ustadz yang paling menyenangkan adalah pernyataannya bahwa Islam adalah agama paripurna, Islam tidak hanya mengurusi urusan akhirat, urusan dunia, bahkan urusan kamar kecil, ada aturannya dalam Islam. Ustadz memang tidak mengatakan bahwa akal umat Islam boleh istirahat karena semua urusan sudah diatur wahyu. Tetapi, waktu itu akal sering diidentikan dengan akal-akalan, dengan nafsu. Makanya, sejak awal kita diamit-amit: hati-hati dengan akal, apa yang baik menurut akal belum tentu baik menurut wahyu dan sebaliknya, apa yang dipandang buruk oleh akal belum tentu buruk menurut wahyu.
Sekarang kita menyadari bahwa persoalannya tidak sesederhana seperti itu. Memang benar wahyu mengatur banyak urusan termasuk urusan-urusan kecil, tetapi justru banyak urusan yang besar-besar tidak diatur wahyu; wahyu tidak mengatur bagaimana umat Islam harus bernegara, memilih rajanya, membangun ekonominya, menjaga kelestarian alam, mengatur hak-hak anak, perbudakan , binasalah kewanitaan, hubungan internasional dan sebagainya.

____________________
'Harun Nasution. Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), him. 15.
2Mohammed Arkoun,. Rethinking Islam. Diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq (Yogyakarta: LPMI, 1996), him. 45-46.

Pemuka Islam modern berkala bahwa apa-apa yang tidak diatur wahyu adalah tugas akal untuk memikirkannya. Yang tidak boleh dicampuri hanyalah apa-apa yang sudah ada ketetapannya dalam Qur’an. Kedudukan akal sangat penting. Agar seseorang bisa membenarkan wahyu ia harus berpikir rasional3. Quran mengkritik orang-orang kafir sebagai orang-orang yang tidak menggunakan akal (5:58, 26:28, 10:100,30:24, 30:28 39:43). Kita sudah familier dengan formula-formula seperti itu.
Di satu sisi kita berpandangan bahwa akal sebenarnya mempunyai kesanggupan untuk menentukan baik dan buruk bahkan dalam urusan-urusan besar, sementara apa yang telah ditetapkan wahyu, walaupun dalam urusan-urusan kecil (soal rambut palsu, berhias, kamar kecil, janggut), akal tidak bisa menentukan baik dan buruk? Bagaimana kalau akal bertentangan dengan wahyu?
Pertentangan akal dan wahyu diselesaikan oleh para filosof Muslim dengan mentakwil wahyu. Apabila hasil kontemplasi bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus ditakwil. Kita (para filosof), kata Ibn Rusyd, berani memastikan seyakin-yakinnya terhadap capatan yang dihasilkan metode burhan. Tetapi, kalau ternyata bertentangan dengan makna lahir teks, maka teks tersebut terbuka untuk menerima pentakwilan4.
Sebelum diundangkan Undang-undang No. 1/1974, kemudahan kawin-cerai dan poligami (poligini) sesuai dengan syariat, telah disalah gunakan oleh umat. Angka penceraian dan poligami menjadi sangat tinggi, Sewaktu Undang-undang tersebut dibicarakan di DPR, timbul perdebatan tentang dicantumkannya keharusan suami yang akan mentalak isterinya untuk meminta izin dari Pengadilan Agama, tentang kebolehan (persyaratan) poligami, tentang harta perkawinan, dan tentang alimony, ‘tunjangan hidup yang harus diberikan suami kepada bekas istrinya’5. Keberatan mayoritas umat Islam adalah anggapan bahwa manusia tidak boleh mencampuri ketetapan wahyu.
Masalah akal dan wahyu adalah sentral untuk kemajuan umat beriman, oleh karena itu masih relevan untuk mernbicarakan kembali pandangan-pandangan ulama klasik tentang kedudukan akal.
___________________
3"Dan apabila kamu sent (mereka) kepada xemhahyang, merckajadikan dia sehagai ejekan dan permainan. Yang demikian itu, karana mcreka kaum yang tidak mempunyai akal" (Q., 5:58).
4Ibn Rusyd Kaitan Filsafat Dengan Syariat,Diterjemahkan oleh Ahmad Shodiq Noor (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), him. 20-21.
5Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 46.
Pandangan Berbagai Aliran
a. AI-Mu’tazilah
Dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan dijumpai persoalan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kaitan dengan dua masaiah poko yaitu soal mengelahui Tuhan dan soal perbuatan baik dan jahat. Persoalan pertama berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan? Kalau ya, dapatkah akal merigetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan? Dalam masalah ke dua dipersoalkan tentang kesanggupan akal untuk mcngetahui apa yang baik dan apa yang jahat dan dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat?
Kauin Mu'tazilah beranggapan bahwa akal memiliki kesanggupan untuk mengetahui semua masalah tadi. Dengan demikian sebelum turun wahyu, manusia punya kesanggupan dan oleh karenanya sudah dibebani kewajiban untuk berterima kasih kepada Tuhan, mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan jahat. Sebagaimana dikutip Harun Nasution, al- Syahrastani dalam bukunya Kitah al-Milal wa al-nihal, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih) kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Abu al-Huzail dan pemimpin-pemimpin Mu'tazilah yang lain seperti al-Nazzam al-Jubba'i dan anaknya Abu Hasyim berpandangan sama mengenai hal ilu. Golongan al-Murdar bahkan beranggapan lebih jauh lagi. Menurut faham mereka, sungguhpun wahyu belum ada, manusia berkewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam neraka6.
Walaupun demikian ada perbedaan yang jelas antara kewajiban-kewajiban yang bisa diketahui dan dimotivisir oleh akal dan kewajiban-kewajiban yang diketahui dan dimotivisir wahyu. Norma-norma yang dikukuhkan oleh akal bersifat universal, sebaliknya norma-norma yang dikukuhkan oleh wahyu adalah bersifat khusus.



_____________________
6 Harun Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: Penerbil Universitas Indonesia, 1986), hal. 80-81.

Seseorang dengan menggunakan kecerdasannya dapat mengetahui tujuan yang umum yang seharusnya ia lakukan, tetapi aturan-aturan yang lebih rinci dan tata cara yang diberikan wahyu memberikan pedoman dan bimbingan praktis. Aturan-aturan rinci yang diberikan wahyu akan senantiasa selaras dengan prinsip-prinsip universal yang bisa diketahui akal7. Jadi, walaupun manusia dengan akalnya bisa meyakini adanya Tuhan dan keharusan berterima kasih kepada-Nya, tetapi rituil-rituil khusus dalam beribadat kepada Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu. Ibn Tuiail, dalam ceriteranya "Mayy Bin Yaqzan", mempunyai pandangan yang sama dengan pandangan Mu'tazilah. Hayy Bin Yaqzan adalah bayi yang dibuang ke pulau tak berpenghuni oleh bapaknya bernama Yaqzan yang hidup di pulau lain. Hayy tidak pernah berhubungan dengan manusia, sampai ia dewasa. la dibesarkan oleh seekor rusa betina, dan ia tumbuh dan belajar dari alam. Dalam usia dewasa ia senang berkontemplasi sampai akhirnya ia meyakini adanya Sang Maha wujud yang wujud-Nya tetap tanpa sebab, bahkan Dia-lah Sebab bagi adanya semua alam. Lebih dari itu ia menyadari bahwa kebahagiaannya berkantung kepada kedekatannya pada-Nya dan pada usaha mcnyerupai-Nya. Karena itu, membanyakan makan termasuk kelakuan yang menjauhkan diri dari keserupaan dengan-Nya, sehingga sering ia tidak makan.
Suatu ketika seorang pemuda bernama Asal, pergi ke pulaunya Hayy. Ia seorang yang taat kepada agama (millat) yang dibawa seorang nabi, ia menyukai pemencilan ('uzlah) dan hidup sendirian (infirad) sebagaimana diajarkan oleh syariat. ia menyenangi pulau tempatnya Hayy karena menduga pulau itu tidak berpenghuni.
Pada pertemuan Asal dengan Hayy, terjadilah suatu keajaiban. Hayy bisa mengerti apa yang diceriterakan Asal tentang syariat, tentang alam ilahi, surga, neraka, kebangkitan, perhitungan, penimbangan amal kelak serta jalan akhiral (sirat). Hayy mengerti semua itu karena tidak berbeda dari hasil persaksiannya. Hayy hanya perlu belajar amal lahirih seperli salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.



______________________
7Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 210.
b. Al-Asy'ariyah
Dalam aliran Asy'ariah, al-Asy'ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu'tazilah di atas. Menurut pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya''.
Asy'ari menerima kenyataan bahwa ada sejumlah kebenaran mengenai alam dan Perancangnya, yang bisa diketahui akal. Misalnya, dengan melulu akal seseorang bisa sampai kepada pengetahuan bahwa dunia ini tergantung, sifat utama Sang Pencipta adalah hidup, dan pengetahuan lain yang bisa mendorong seseorang untuk bisa membenarkan ajakan Nabi-nabi. Tetapi, kita tidak bisa berhenti hanya sampai aspek-aspek yang menunjukkan kcmasukakalan (reasonableness) saja. Kita mcmerlukan wahyu agar perbuatan-pcrbuatan kila sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan. Lebih dari itu, pahala dan hukuman didasarkan kepada kenyataan apakah perbuatan seseorang sesuai atau tidak dengan perintah wahyu.
Pemuka Asy'ariah yang lain seperti al-Baghdadi, berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. jika seseorang, sebelum wahyu turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifatnya dan kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimaksudkan ke dalam surga, maka itu atas kemurahan Tuhan. Jika, sebelum adanya wahyu, orang itu kafir dan atheis, ia tidak mesti mendapat hukuman. Tokoh Asy'arih yang paling berpengaruh, al-jhazali, berpandangan sama. Pandangannya tentang upah dan hukuman (reward and punishment) sebelum adanya wahyu, jelas bertentangan sekali dengan faham Mu'tazilah sebagaimana diutarakan di atas.
Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution dari buku al-Ghazali, "Al-Iqtisadfi al-l'tiqad", paham pemuka Asy'ariah seperti itu rapat hubungannya dengan definisi baik dan jahat. Menurut al-jhazali, suatu perbuatan bersifat wajib kalau tidak dilakukannya perbuatan tcrsebut menimbulkan kemudaratan bagi manusia kelak di akhirat. Mengenai soal baik dan jahat, al-Ghazali menerangkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan diukur dari tujuan pembuat. Suatu perbuatan disebut baik atau juruk, kalau perbuatan tersebut sesuai atau bertentangan dengan maksud pembuat. Karena kita baru bisa mengetahui maksud pembuat hanya melalui wahyu, maka oleh karenanya perbuatan baik kalau buruk hanya diketahui dengan wahyu. Adapun soal mengelahui Tuhan, al-Ghazali menyatakan bahwa wujud Tuhan dapat dikelahui melalui pemikiran tentang alam. hal ini diperkuat oleh keterangannya bahwa obyek pengetahuan terbagi tiga; yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan termasuk kategori pertama, yaitu yang dapat diketahui dengan akal lanpa wahyu12.
Ghazali membedakan 4 macam penggunaan akal. Pertama, akal merupakan kualitas yang dapat membedakan manusia dari binatang dan menyebabkan tumbuh berkembangnya ilmu teoritis. Kedua, sebagaimana dalam matematik, akal memungkinkan kita untuk rnembuat permainan yang tersusun dari ituran-aturan kebenaran yang sudah pasti (necessary truth). Ketiga, yang tidak umum, akal dipersamakan dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman dan yang Keempat, akal sebagai pengendali hawa nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang. Ghazali menerima suatu kenyataan bahwa paling tidak ada beberapa aturan etika yang termasuk dalam wilayah pengetahuan rasional. Aturan-aluran itu dapat menjelaskan dengan baik tentang bagaimana orang yang manusia hidup bersama. Tetapi, Ghazali sangat berpegang teguh pada pendirian yang menekankan pentingnya taat kepada wahyu, semata-mata karena itu perintah, terlepas dari penilaian manusia. Memang benar, beberapa perintah seperti zakat, misalnya, memiliki tujuan rasional yang sangat kuat, tetapi perintah-perintah yang lain seperti melempar setan di Mina harus dilaksanakan semata-mata karena itu perintah.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di antara pengikut-pengikut al-Asy'ari terdapat persesuaian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah wujud Tuhan. Ketiga soal lain (yaitu kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat, dan kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat) hanya bisa diketahui melalui perantaraan wahyu.









c. AI-Maturidiyah
Timbulnya aliran Asy'ariayah dianggap merupakan reaksi terhadap aliran Mu'tazilah. Al-Maturidi yang merupakan salah satu tokoh aliran Asy’ariah memunculkan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Asy'ariyah. Pikiran al-Maturidi ini dinilai lebih dekat kepada Mu'tazilah dalam pandangannya tentang kedudukan akal dan wahyu. Mungkin lebih tepat untuk disebut sebagai aliran yang mengambil jalan tengah antara Asy'ariayah dan aliran Mu'tazilah. Pemikirannya kemudian dikenal dcngan aliran Maturidiyah Samarkand. Sementara pemahaman al-Maturidi lebih dekat kepada faham Mu'tazilah, salah seorang pengikutnya, al-Bazdawi, mengembangkan faham yang lebih dekat dengan Asy'ariayah. Walaupun pemikiran al-Bazdawi ini biasa juga disebut Bazdawiah, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Maturidiyah Bukhara karena fahamnya berkembang di wilayah Bukhara. Aliran Maturidiyah Bukhara kurang mendapat perhatian khusus, umumnya para pembahas menyatukan kedua aliran tersebut sebagai al-Maturidiyah saja.
Abu Mansur AI-Maturidi (Diperkirakan lahir tahun 852 M) beranggapan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan beriman kepada-Nya. Sebelum turun wahyu, iman kepada Tuhan dan bcrterima kasih kcpada-Nya wajib dengan akal. Akal bisa rnengetahui sifat baik dari yang baik dan sifat buruk dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat jahat adalah jahat dan berbuat baik adalah baik. Sampai batas ini pandangan al-Maluridi sama dengan pandangan Mu’tazilah. Pandangannya berbeda ketika ia menjawab pertanyaan, sanggupkah akal mengetahui (kewajiban manusia untuk berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jelek) Al-Maturidi beranggapan akal tidak akan sanggup kewajiban untuk berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jelek. Kewajiban ini hanya bisa diketahui melalui wahyu
Al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi, al-Bazdawi berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan sendirinya, manusia juga tidak diwajibkan untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Menurutnya, kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Alasan al-Bazdawi bahwa sebelum adanya vvahyu manusia belum diwajibkan untuk mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan belum diwajibkan untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan (walaupun kesemuanya bisa diketahui akal) adalah ayat 134 surah Tha-haa. Derdasarkan ayat ini kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidak wajib.
Dibandingkan dengan pemahaman lainnya, posisi al-Bazdawi bisa dilihat dalam tabel dibawa ini:
Aliran
Mengetahui Tuhan
Kewajiban Mengetaui Tuhan
Mengetahui Baik dan Jahat
Kewaj. Menger. Baik & Menj. jahat

Mu'tazilah
akal
akal
akal
akal

Asy'ariah
akal
wahyu
wahyu
wahyu

Al-Maturidi
akal
akal
akal
wahyu

Al-Bazdawi
akal
wahyu
akal
wahyu




B.Kesimpulan
Setiap orang dilengkapi dengan akal, tetapi tidak setiap orang memiliki akses yang sama terhadap wahyu. Seseorang yang dilahirkan dari orang tua Muslim dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim akan menjadi seorang Muslim yang baik, selama ia mau menjadi anak yang baik atau menjadi seperti orang lain disekitarnya Berbeda, tentu saja, dengan seseorang yang lahir dari orang tua yang ateis di tengah-tengah masyarakat komunis Rusia, hanya mukjizat yang bisa membawa ia menjadi seorang Muslim.
Tidak ada yang beranggapan bahwa,orang-orang yang tidak kesampaian wahyu akan disiksa kelak di akhirat, juga tidak ada yang beranggapan mereka semua akan masuk surga. Tetapi, apakah Tuhan cukup adil dengan memperlakukan orang yang tidak kesampaian wahyu seperti binatang (terbebas dari pengadilan Tuhan, terbebas dari hisab). Bagaimana sikap mental kita seandainya ada firman Tuhan (untuk mereka yang tidak kesampaian wahyu): "Sama saja untuk kalian apakah engkau curi barang milik tetanggamu atau engkau kasihi mereka, apakah engkau minum "vodka" atau mejadi sukarelawan di rumah jompo, kalian semua tidak akan dihisab".
Mu'tazilah menjawab persoalan ini dengan menyatakan bahwa orang-orang yang tidak kesampaian wahyu pun dihisab. Sesuai dengan tuntunan akalnya, mereka wajib bertingkah laku benar. Akal sanggup niembimbing manusia untuk menciptakan norma-norma kehidupan bersama, menentukan tolak-ukur (yardstick) perilaku baik dan buruk, meyakini adanya Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Manusia wajib mengikuti norma-norma itu, karena hanya dengan cara demikian kehidupan bersama yang baik bisa diwujudkan.
Dalam konteks kehidupan sekarang, pandangan Mu'tazilah lebih realistis. Secara demonstratif negara-negara maju menunjukkan superioritasnya. Ternyata akal telah sanggup menjadikan mereka superior bukan saja dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang-bidang yang selama ini merupakan bagian garapan wahyu meningkatkan perilaku baik (kebersihan, keadilan, kejujuran) dan memerangi perilaku buruk (dusta, tidak menepati janji, korupsi). Korupsi merajalela bukan saja di negara-negara yang mayoritas penduduknya kafir, atau instansi-instansi yang rnengurusi masalah profan, tetapi juga di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan instansi yang mengurus soal zakat dan haji. Tetapi, terbukti korupsi bisa ditekan sampai batas minimal dan kebersihan dan disiplin penduduk ditingkatkan di negara-negara dimana low enforcement berhasil ditegakkan. Strict enforcement dari hukum ternyata lebih penting dari persoalan apakah hukum tersebut merupakan produk akal atau produk wahyu.


Kalau dalam masalah duniawi akal punya peranan yang dominan, tidak demikian halnya dalam masalah ibadah dan akidah. Pengalaman kita mengantarkan kita pada suatu kesadaran tentang betapa rapuh dan betapa tidak pastinya hidup ini. Perasaan takut akan menjadi bangkai, akan ditinggalkan atau meninggalkan orang-orang yang kita kasihi, akan senantiasa membayangi kehidupan kita. Walaupun kita tidak pernah tahu kapan ketakutan itu akan terjadi, tetapi kita yakin itu pasti terjadi. Semakin kita berusaha untuk melupakan betapa rapuhnya hidup ini, semakin kuat ketakutan itu muncul ke permukaan. Oleh karena itu, manusaia membutuhkan kepercayaaan kepada yang gaib. Kepercayaan tersebut akan menentramkan naluri dasar rasa takut ( basic fear). Akal membimbing manusia kepada iman, bukan karena yang diimani itu rasional, tetapi karena iman kepada yang gaib itu sangat diperlukan. Iman itu sendiri timbul karena seseorang mau menunda untuk memperoleh jawaban rasional terhadap berbagai pertanyaan rasional. Makanya, dalam Islam, "yang gaib" bukan untuk dipertanyakan, tetapi untuk diimani. Walaupun akal yang membimbing seseorang untuk beriman kepada yang gaib, tetapi wilayah gaib bukan domain-nya akal, tetapi wahyu.
Karena usaha para filosof untuk menjelaskan masalah eskatologi dengan akal, maka hasilnya adalah kehidupan akhirat yang gersang, tidak menarik. Qur’an sendiri menyalakan semua berita akhirat itu sebagai "kabar gembira" dan "kabar menakutkan". Oleh karena itu, saya merasa lebih komfortabel, lebih nyaman, dengan gambaran alam gaib menurut wahyu, biarkan Tuhan benar adanya, let God be true.
Clarence Darrow menyatakan bahwa kebangkitan tubuh adalah mustahil karena untuk membangkilkan tubuh-tubuh itu, Tuhan harus mengumpulkan semua unsur tubuh manusia yang sudah diserap tubuh-tubuh yang lain. Dalam bidang ekologi, kita mengenal food-chain. Bangkai manusia akan mengalami dekomposisi menjadi hara yang merupakan makanan bagi tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan akan menjadi makanan hewan dan hawan menjadi makanan manusia dan selanjutnya. Rantai itu bulat dan utuh, tidak terputus. Jadi kalau seorang saja manusia dibangkitkan berarti berapa banyak hewan, tumbuhan, dan manusia lain harus mati. Sikap Darrow telah diantisipasi oleh Qur’an. "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh itu?" (Q., 36:78).
Menurut pandangan saya, hubungan akal dan wahyu adalah hubungan sikuensial (sequential). Salah satu memulai perannya pada saat yang lain menghentikan peranannya. Akal dan wahyu memiliki wilayah integritasnya masing-masing dan keduanya tidak bisa dipertentangkan.

0 komentar:

Cari Info lainnya di sini :

Gabung Yuk ...

Related Post :

Technology in Education from MagPortal.com